Bagi sebagian orang menciptakan motivasi menulis kadang merupakan keseimbangan yang rumit. Menulis tidak sesederhana jari menekan huruf-huruf di keyboard. Keseimbangan motivasi dan tujuan menulis—yang semua itu bisa cukup gamblang atau bahkan masih samar dan tersembunyi—memerlukan ketangguhan sekaligus kegigihan untuk menyadarinya. Penulis jangan sampai kalah melawan dirinya. Ia membutuhkan sifat Al-Mutakabbir.
Hanya karena penulis menemukan gagasan besar, lantas ia boleh sesuka hati menuliskannya. Tidak apa-apa memang. Namun, ketika penulis terbang ke langit hendaknya ia membawa kesadaran bumi. Atau sebaliknya, ketika menggali bumi hendaknya ia membawa kesadaran langit.
Kesadaran pada titik yang seimbang—baik dalam gerakan vertikal maupun horisontal—sepanjang pengamatan dan pengalaman saya mendampingi workshop penulisan, bukan perkara mudah. Ide sudah sangat hebat. Begitu ide tersebut dituangkan ke dalam lembar tulisan, ia seperti mentah kembali. Apa pasal? Ide dan gagasan yang hebat itu melepaskan dirinya dari konteks dan nuansa.
Lepas konteks itu—maaf—kalau saya ibaratkan seperti pendakwah yang mendatangi anak-anak yang tengah asik bermain kelereng. Tidak ada hujan tidak ada angin, pendakwah yang terhormat itu menceramahi anak-anak tentang surga dan neraka. Anak-anak yang asik main kelereng dlongap-dlongop. Ini orang ngapain tiba-tiba ceramah surga dan neraka. Kang Mas Pendakwah yang alim mohon jangan tersinggung kalau anak-anak lari sambil ngece mengejek.
Semangat ya semangat, berdakwah ya berdakwah, menulis ya menulis—tapi sadar konteks dan nuansa dong, kira-kira demikian celoteh anak-anak itu.
Maka, penulis atau juru dakwah atau apapun fungsi sejarah seseorang: presiden, menteri, dirjen, walikota, pak lurah memerlukan jubah Al-Mutakabbir untuk nggedheni kesombongan dirinya. Kesombongan yang sering tersamar: merasa pandai sambil meninggalkan jejak kebodohan, merasa kaya sambil meninggalkan derita kemisikinan, merasa berjasa sambil memelihara penderitaan, merasa paling sukses sambil menyumbang kegagalan.
Di tengah upaya nggedheni kesombongan diri sendiri, nggedheni persoalan, nggedheni hambatan menulis, nggedheni arus dehumanisasi—tiba-tiba kita disergap oleh Pemilik Al-Mutakabbir yang sejati.
Takbir Idul Fitri menyorong kita agar meringkuk di sudut kesadaran: aku adalah sebutir debu bukan hanya di tengah hamparan semesta. Bahkan aku adalah anasir super-mikro di genggaman Tangan-Mu yang Akbar.
Yang sedang mudik hat-hati di jalan, Kawan. Selamat Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin.
jagalan, malam 1 Syawal 1438 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H