Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menjadi Penulis yang "Takabur"

24 Juni 2017   22:54 Diperbarui: 26 Juni 2017   09:50 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. WriterPexel

Ketika saya mengetik tulisan ini, corong pengeras suara mushola dan masjid mengumandangkan takbir. Anak-anak kecil di desa saya menikmati getaran suasana malam takbiran yang belum sepenuhnya dipahami akal mereka. Getaran yang lain dari biasanya. Sorot mata bahagia memancar dari wajah anak-anak. Bahagia yang teramat misterius untuk dirumuskan.

Allahu Akbar. Allah Maha Besar, demikian terjemah yang kerap kta terima. Zaman masih kecil saya membayangkan volume besaran yang kuantitatif. Segede gunung, seluas lautan, sebesar matahari—besar yang sangat-sangat besar? Saya menertawakan semua besaran itu untuk membayangkan betapa Tuhan sangat Besar.

Republika.co.id
Republika.co.id
Meng-custom Sifat Akbar

Mulai belajar bahasa Arab saya pelan-pelan memahami Akbar adalah isim tafdlil. Bentukan kata bahasa Arab untuk mengungkapkan arti lebih. Allahu Akbar artinya Allah selalu lebih Besar, lebih Agung, lebih Kuasa dari apapun saja. Besar dalam pengertian makna hekakat yang substantif-kualitatif. Lalu diterjemahkan oleh Bahasa Indonesia menjadi Allah Maha Besar.

Allah memiliki sifat Al-Mutakabbir, bentukan kata isim fail atau pelaku dari sifat tersebut. Bahasa Indonesia mengenal diksi “takabur” yang kerap diartikan sombong. Allah menyandang sifat Al-Mutakabbir. Artinya Allah adalah pelaku dari sifat yang selalu lebih Besar dari siapapun dan apapun di semesta ciptaan-Nya. Saya lebih suka menggunakan bahasa Jawa. Allah itu nggedheni siapa dan apa saja.

Sifat Akbar itu hanya Allah yang berhak menyandangnya. Manusia tidak pantas mengenakan jubah kebesaran itu untuk kepentingan egoisme dirinya. Merasa lebih baik, lebih pintar, lebih jenius, lebih mulia, lebih terhormat dari orang lain adalah bunuh diri eksistensi. Mengenakan jubah kebesaran Tuhan tak ubahnya menggali liang kubur sendiri.

Lantas, mengapa Tuhan mengenalkan sifat Al-Mutakabbir itu? 99 Sifat Tuhan yang dikenal dengan Asmaul Husna adalah sifat kepengasuhan Tuhan kepada makhluk dan hamba-Nya. Khasanah tasawuf menyodorkan ungkapan berakhlak seperti akhlak sifat Tuhan. Bagaimana aplikasinya kepada diri sendiri?

Default sifat Al Mutakabbir pasti milik Tuhan semata. Namun, kita bisa melakukan custom untuk manajerial menaklukkan diri sendiri. Terminologi menang-kalah tidak diarahkan kepada pihak luar atau orang lain. Menang-kalah hanya berlaku pada peperangan melawan diri sendiri.

Pada konteks perang melawan diri itu kita meng-custom sifat Al-Mutakabbir. Nggedheni setiap persoalan atau tantangan yang tengah kita hadapi. Seorang penulis pastilah memanage dirinya dengan cara meminjam sifat Al-Mutakabbir. Nggedheni rasa malas menulis, nggedheni malas membaca, nggedheni kekeringan ide menulis dan seterusnya.

Seorang penulis memiliki semesta yang luasnya berbatas cakrawala, mengembang sedemikian rupa setiap ditimpa kendala kreativitas. Nggedheni setiap kendala ini juga menyentuh detail substantif kemanusiaan: bersikap jujur, mengatasi plagiarisme, menjaga keseimbangan berpikir, meneliti denotasi-konotasi kata per kata, memastikan konteks dan nuansa tulisan.

Ketika hambatan itu datang, penulis merasa dirinya lebih besar dari semua tantangan itu. Pada konteks proses kreativitas menulis, dirinya meminjam sifat “Akbar”, selalu lebih besar, nggedheni setiap hambatan. Juga di saat ia tersandung persoalan konten tulisan yang harus dimintakan maaf kepada pembaca atau pihak terkait. “Aku” penulis—dengan huruf A kapital—menjadi gelembung besar dan menampung “aku” kecil penulis. Ia tak segan mengakui kesalahan atau keteledoran.

Nggedheni Kesombongan Diri

Bagi sebagian orang menciptakan motivasi menulis kadang merupakan keseimbangan yang rumit. Menulis tidak sesederhana jari menekan huruf-huruf di keyboard. Keseimbangan motivasi dan tujuan menulis—yang semua itu bisa cukup gamblang atau bahkan masih samar dan tersembunyi—memerlukan ketangguhan sekaligus kegigihan untuk menyadarinya. Penulis jangan sampai kalah melawan dirinya. Ia membutuhkan sifat Al-Mutakabbir.

Hanya karena penulis menemukan gagasan besar, lantas ia boleh sesuka hati menuliskannya. Tidak apa-apa memang. Namun, ketika penulis terbang ke langit hendaknya ia membawa kesadaran bumi. Atau sebaliknya, ketika menggali bumi hendaknya ia membawa kesadaran langit.

Kesadaran pada titik yang seimbang—baik dalam gerakan vertikal maupun horisontal—sepanjang pengamatan dan pengalaman saya mendampingi workshop penulisan, bukan perkara mudah. Ide sudah sangat hebat. Begitu ide tersebut dituangkan ke dalam lembar tulisan, ia seperti mentah kembali. Apa pasal? Ide dan gagasan yang hebat itu melepaskan dirinya dari konteks dan nuansa.

Lepas konteks itu—maaf—kalau saya ibaratkan seperti pendakwah yang mendatangi anak-anak yang tengah asik bermain kelereng. Tidak ada hujan tidak ada angin, pendakwah yang terhormat itu menceramahi anak-anak tentang surga dan neraka. Anak-anak yang asik main kelereng dlongap-dlongop. Ini orang ngapain tiba-tiba ceramah surga dan neraka. Kang Mas Pendakwah yang alim mohon jangan tersinggung kalau anak-anak lari sambil ngece mengejek.

Semangat ya semangat, berdakwah ya berdakwah, menulis ya menulis—tapi sadar konteks dan nuansa dong, kira-kira demikian celoteh anak-anak itu.

Maka, penulis atau juru dakwah atau apapun fungsi sejarah seseorang: presiden, menteri, dirjen, walikota, pak lurah memerlukan jubah Al-Mutakabbir untuk nggedheni kesombongan dirinya. Kesombongan yang sering tersamar: merasa pandai sambil meninggalkan jejak kebodohan, merasa kaya sambil meninggalkan derita kemisikinan, merasa berjasa sambil memelihara penderitaan, merasa paling sukses sambil menyumbang kegagalan.

Di tengah upaya nggedheni kesombongan diri sendiri, nggedheni persoalan, nggedheni hambatan menulis, nggedheni arus dehumanisasi—tiba-tiba kita disergap oleh Pemilik Al-Mutakabbir yang sejati.

Takbir Idul Fitri menyorong kita agar meringkuk di sudut kesadaran: aku adalah sebutir debu bukan hanya di tengah hamparan semesta. Bahkan aku adalah anasir super-mikro di genggaman Tangan-Mu yang Akbar.

Yang sedang mudik hat-hati di jalan, Kawan. Selamat Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

jagalan, malam 1 Syawal 1438 H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun