Sekolah mendidik anak-anak berpikir tanpa mengerti konteks dan nuansa. Hukum wajib mengerjakan shalat Subuh adalah jawaban yang tidak sadar konteks, tidak paham ruang dan waktu, serta tidak meneliti siapa pelakunya. Pada sore hari yang wajib adalah mengerjakan shalat Asar. Haram mengerjakan shalat Subuh pada waktu sore hari.
Simulasi hukum shalat Subuh itu bisa terus dikembangkan: siapa pelakunya, dikerjakan di mana, bagaimana mengerjakannya. Status hukum tidak pernah berada dalam posisi “titik”. Ia akan menawarkan konteks “koma”.
Tidak herap apabila fenomena takfiri merebak. Orang begitu mudah melontarkan label kafir pada orang lain—fenomena labeling yang diakibatkan oleh tekstualisme yang buta pada konteks dan nuansa. Sedikit banyak sekolah menyumbang tekstualisme itu dengan output perilaku yang berbeda dan bervariasi.
Yang menuduh dan yang dituduh sama-sama ngamuk. Tekstualisme bertengkar melawan tekstualisme. Padahal, kalau saya dituduh kafir, akan saya jawab, “Baru tahu ya saya kafir?” Yang saya maksud adalah saya kafir kepada Iblis. Kafir dan muslim tidak bisa berdiri sendiri—tidak bisa dipenggal dari konteks keyakinan dan perbuatan. Namun, siapa peduli dengan itu semua ketika tekstualisme menjadi hantu imaji-konotatif yang bergentayangan di kepala setiap orang, merasuki kesadaran berpikir anak-anak sekolah?
Daripada pusing membaca polemik full day school, saya menghibur diri saja. Saya memaklumi atmosfir pro dan kontra itu karena kita sedang baru belajar menjadi manusia. Makhluk bernama manusia yang memiliki dimensi, lipatan, celah, lekuk, tikungan, fakta internal, seperti lathifah, rasa, nurani, hati nurani, kalbu, akal, nafsu, hawa, ego cukup diakomodir oleh pendidikan berbasis karakter.
Padahal pendidikan karakter hanyalah sub dari sub-sub-bab dari keluasan sekaligus kedalaman semesta jagad alit bernama manusia.[]
jagalan 17.06.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H