Polemik full day school terus bergulir. Beberapa kalangan mempersempit seakan-akan itu polemik antara NU vs Muhammadiyah. Tidak sesederhana itu, walaupun full day school berpotensi “mengancam” madrasah diniyah. Mengancam, dengan tanda petik, bergantung dari sisi sebelah mana kita memandangnya, apa konteks kepentingannya, apa target proyeksi ancaman itu, misalnya untuk kerja politik dua tahun ke depan, serta sejumlah perangkat cara melihat yang lain.
Atas semua kegaduhan itu kita pasti menyepakati satu hal: pendidikan bukan barang mainan yang dimain-mainkan sesuka pikiran. 50 juta anak-anak sekolah, penghuni masa depan bangsa, jangan menjadi tumbal bagi kecerobohan, kesembronoan, keculasan, ketidakadilan berpikir. Sesat pikir pendidikan akan memanen kehancuran.
Sekolah: Gelembung Kecil yang Dipaksakan
Kehancuran itu pasti akan dimulai dari hancurnya harkat dan martabat kemanusiaan. Parameternya cukup gamblang: tidak adil sejak dalam pikiran. Walaupun adil dan keadilan adalah cakrawala, tidak berarti ia adalah utopia. Adil dan keadilan bukan bahan retorika politik kepentingan yang produknya adalah ketidakadilan. Adil dan beradab adalah perjodohan yang mohon tidak dibelah oleh atmosfer dikotomi yang akhir-akhir ini menyerimpung akal sehat.
Saya baru ngeh setelah dalam beberapa kesempatan Cak Nun membabar “password” Pancasila—mengapa setelah ber-Ketuhanan yang Maha Esa, produk primernya adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pendidikan, full day school, sekolah delapan jam sehari, pendidikan karakter, sertifikasi guru, kurikulum 2013 serta sejumlah perangkat pendidikan lainnya, dalam konteks password Pancasila, dikandung oleh sila kedua. Manusia yang adil dan beradab adalah kontinuasi dari proses ber-Ketuhanan yang Maha Esa.
Sayangnya, polemik seputar pendidikan nasional adalah akibat dari terputusnya kontinuasi ketuhanan dengan kemanusiaan. Formalisme sekolah menempati posisi primer. Kita sedang membalik arah—sekolah dipaksa menjadi “gelembung besar” yang menampung pendidikan, bukan pendidikan sebagai “gelembung besar” yang menampung sekolah.
Tentu saja, gelembung kecil bernama sekolah akan mengkek-mengkek sempoyongan, kalau tidak akan meledak, karena nguntal gelembung besar pendidikan. Sekolah menjadi lebih penting dari pendidikan. Itu pun sekolah dalam cengkeraman konotasi yang sudah sangat menyempit-praktis: angka di rapor dan selembar ijasah.
Saya tidak sedang berburuk sangka dengan makhluk bernama sekolah. Namun, misi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dijabarkan sebagai olah hati, olah rasa, olah pikir, olah raga tidak mungkin diperankan total oleh formalisme sekolah. Sekolah harus sadar porsi—mengerti kelebihan sekaligus menyadari keterbatasan dirinya. Para guru dan kepala sekolah yang dituntut oleh kaidah kerja materialisme-profesional tidak sedang berhadapan dengan peserta didik. Mereka berinteraksi dengan anak-anak manusia.
Beban kerja materialisme-profesional seorang guru tidak cukup lembut untuk menyentuh olah pikir apalagi olah rasa dan olah hati. Sekolah menempuh langkah kuantitatif untuk menyentuh aspek kualitatif pada diri manusia.
Tekstualisme dan Manusia yang Baru Belajar Menjadi Manusia
Jangankan olah rasa dan olah hati. Olah pikir pun telah didominasi oleh tekstualisme. Dalam berbagai forum yang diikuti oleh siswa sekolah dasar atau mahasiswa perguruan tinggi, saya melontarkan pertanyaan, “Apa hukum mengerjakan shalat Subuh?” Jawaban mereka selalu sama: wajib. Ini jawaban khas sekolah—bukan jawaban ala berpikir pendidikan. Jawaban khas sekolah yang dirasuki oleh tekstualisme.
Sekolah mendidik anak-anak berpikir tanpa mengerti konteks dan nuansa. Hukum wajib mengerjakan shalat Subuh adalah jawaban yang tidak sadar konteks, tidak paham ruang dan waktu, serta tidak meneliti siapa pelakunya. Pada sore hari yang wajib adalah mengerjakan shalat Asar. Haram mengerjakan shalat Subuh pada waktu sore hari.
Simulasi hukum shalat Subuh itu bisa terus dikembangkan: siapa pelakunya, dikerjakan di mana, bagaimana mengerjakannya. Status hukum tidak pernah berada dalam posisi “titik”. Ia akan menawarkan konteks “koma”.
Tidak herap apabila fenomena takfiri merebak. Orang begitu mudah melontarkan label kafir pada orang lain—fenomena labeling yang diakibatkan oleh tekstualisme yang buta pada konteks dan nuansa. Sedikit banyak sekolah menyumbang tekstualisme itu dengan output perilaku yang berbeda dan bervariasi.
Yang menuduh dan yang dituduh sama-sama ngamuk. Tekstualisme bertengkar melawan tekstualisme. Padahal, kalau saya dituduh kafir, akan saya jawab, “Baru tahu ya saya kafir?” Yang saya maksud adalah saya kafir kepada Iblis. Kafir dan muslim tidak bisa berdiri sendiri—tidak bisa dipenggal dari konteks keyakinan dan perbuatan. Namun, siapa peduli dengan itu semua ketika tekstualisme menjadi hantu imaji-konotatif yang bergentayangan di kepala setiap orang, merasuki kesadaran berpikir anak-anak sekolah?
Daripada pusing membaca polemik full day school, saya menghibur diri saja. Saya memaklumi atmosfir pro dan kontra itu karena kita sedang baru belajar menjadi manusia. Makhluk bernama manusia yang memiliki dimensi, lipatan, celah, lekuk, tikungan, fakta internal, seperti lathifah, rasa, nurani, hati nurani, kalbu, akal, nafsu, hawa, ego cukup diakomodir oleh pendidikan berbasis karakter.
Padahal pendidikan karakter hanyalah sub dari sub-sub-bab dari keluasan sekaligus kedalaman semesta jagad alit bernama manusia.[]
jagalan 17.06.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H