Yang perlu segera kita perjelas adalah pengertian denotasi full day school. Mungkin agak serampangan kalau full day school, yang diterjemahkan secara bebas menjadi sekolah sehari penuh, disamakan dengan belajar di sekolah selama delapan jam. Sehari penuh itu 24 jam. Sedangkan Hari Sekolah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 23 Tahun 2017 itu, delapan jam dalam satu hari.
Pakai akal sehat saja. Sekolah sehari penuh, 24 jam belajar, berarti siswa tidak pulang ke rumah. Mereka menginap di sekolah atau asrama. Diawasi penuh oleh guru atau pihak yang menyelenggarakan pendidikan model itu. Praktek sekolah seperti itu dijumpai di boarding school, sekolah berasrama dan pondok pesantren.
Imaji-Konotatif yang Liar
Menyamakan delapan jam belajar di sekolah dengan full day school adalah kecerobohan, tidak waspada terhadap betapa sangat liar konotasi menimpa sebuah kata atau idiom yang lagi ngetrend.
Denotasi full day school berkonotasi menjadi sekolah sehari penuh, lalu menjadi identik dengan boarding school atau sekolah berasrama, lalu berkonotasi menjadi sekolah delapan jam, dan ada kemungkinan menjadi sangat sempit, misalnya menjadi sekolah pulang sore. Kelak, full day school akan berkembang konotasinya menjadi sekolah sambil bawa makan siang; sekolah sabtu dan minggu libur, sekolah sarat beban dan seterusnya.
Konotasi itu mungkin saja terjadi, mengingat, sebut saja satu kata di Indonesia yang tidak ditungangi oleh liarnya konotasi.
Jadi, yang diributkan publik soal delapan jam belajar di sekolah adalah imaji-konotatif tentang full day school yang menerjang pagar denotasi. Mungkin saya salah, namun cara berpikir yang dirasuki oleh nafsu konotatif tidak akan presisi membidik akar persoalan. Yang diperdebatkan bukan urusan kualitatif pendidikan. Kita terlena oleh formalisme aturan delapan jam mengajar untuk guru. Bagaimana kualitas guru menjalankan beban kerja selama delapan jam di sekolah luput dicermati.
Dan perhatikan diksi yang digunakan—beban kerja guru. Di lain pihak guru dituntut ikhlas mengabdi, namun pada kondisi yang lain guru dibebani kerja selama delapan jam. Atau kita dengungkan saja semangat baru: “Kalau memang ikhlas dan niat mengabdi demi Bangsa dan Negara, diberi beban kerja berapa jam pun guru harus siap!”
Namun, persoalannya tidak terutama pada kualitas atau urusan substantif lainnya. Melimpahnya tunjangan yang terlanjur diterima oleh guru telah jadi bumerang dan menimbuni mereka dengan aturan jam kerja yang relatif panjang dan berat. Celakanya, penambahan jam kerja guru tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas mengajar. Suara di balik itu semua berkata, “Guru sudah menerima tunjangan yang melimpah. Jangan rewel dengan aturan yang ditetapkan pemerintah!”
Aturan yang dimaksud itu pun mengandung konotasi yang liar—dan tidak selalu terkait kualitas melayani siswa. Aturan itu lantas dikonotasi menjadi setumpuk bukti fisik administratif yang harus siap disodorkan guru ke hadapan pengawas sekolah.
Maka, yang terjadi adalah pemandangan kontradiktif—sekolah dan pendidikan yang terselenggara belum menjamin sikap kualitatif yang dimuati oleh kebenaran, keadilan, kejujuran.
50 Juta Anak Indonesia dan Tangan Politik Pendidikan
Ironisnya, program delapan jam belajar di sekolah kabarnya diselenggaran untuk Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Mafhum mukhlofah-nya adalah selama ini pendidikan karakter di sekolah belum kuat sehingga perlu dikuatkan. Atau, keputusan delapan jam belajar di sekolah jangan-jangan seperti pribahasa: menepuk air didulang terpecik muka sendiri? Kalau karakter tidak menjadi bagian otomatis dari proses pendidikan, yang kita selenggarakan selama ini model pendidikan apa?
Pendidikan itu muatan utamanya ya karakter. Ini pun harus dilacak dan dipelajari benar apa itu karakter, moral, moralitas, akidah, akhlak, adab, tata krama, unggah-ungguh, bakat, talenta. Namun, siapa peduli dengan semua kata itu?
50 juta anak sekolah di Indonesia sedang ditimang-timang nasibnya oleh tangan politik pendidikan. Nasib masa depan anak-anak itu dirembuk lalu diputuskan seperti rundingan hari ini kita minum kopi di warung siapa. “Ini kalau soal yang begini tidak boleh diputuskan hanya di tingkat menteri karena itu 50 juta anak yang terdampak, yang SD, SMP, SMA kan 50 juta orang,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Bahkan bukan sekadar tidak boleh diputuskan di tingkat menteri saja—ini soal konteks betapa sangat beragam adat istiadat, budaya, model pendidikan non formal yang hidup di Indonesia. Bhineka Tunggal Ika tidak cukup di-saya-kan—ia adalah semangat sekaligus sikap mengayomi, mewadahi, merangkul semua kebihinekaan itu. Sentralisasi pendidikan bukan satu-satunya solusi.
Kalau ada waktu luang, sesekali kita tengok pendidikan non formal di pelosok kampung Nusantara. Mulai Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ), Sanggar Belajar dengan berbagai varian dan macam kegiatan, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dengan beragam pola asuh dan pendekatan kepada masyarakat, hingga pendidikan yang “tak kasat mata”, seperti kearifan universal di kampung-kampung adat. Sungguh tidak elok sekolah merampas semua potensi itu.
Taman Pendidikan Al-Quran, misalnya. Bisa dipastikan, guru yang mengajar di TPQ adalah warga setempat. Adalah perbuatan bodoh kalau guru TPQ mengajarkan akidah sesat atau menanamkan radikalisme pada anak-anak. Ia pasti akan berhadapan langsung dengan kontrol sosial-budaya-agama warga setempat. Artinya, masyarakat tidak bodoh-bodoh amat kalau urusan pendidikan karakter.
Seorang kawan tiba-tiba menghampiri saya. “Ngapain repot-repot mikir sekolah delapan jam sehari,” katanya. “Anggap saja keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu seperti sidang isbat yang menetapkan 1 Syawal. Mau ikut keputusan sidang isbat monggo, tidak ikut ya monggo.” []
Jagalan 14.06.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H