Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

50 Juta Anak Sekolah Sedang Ditimang-timang Nasibnya

14 Juni 2017   03:03 Diperbarui: 14 Juni 2017   19:38 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.satusaja.com/

50 Juta Anak Indonesia dan Tangan Politik Pendidikan

Ironisnya, program delapan jam belajar di sekolah kabarnya diselenggaran untuk Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Mafhum mukhlofah-nya adalah selama ini pendidikan karakter di sekolah belum kuat sehingga perlu dikuatkan. Atau, keputusan delapan jam belajar di sekolah jangan-jangan seperti pribahasa: menepuk air didulang terpecik muka sendiri? Kalau karakter tidak menjadi bagian otomatis dari proses pendidikan, yang kita selenggarakan selama ini model pendidikan apa?

Pendidikan itu muatan utamanya ya karakter. Ini pun harus dilacak dan dipelajari benar apa itu karakter, moral, moralitas, akidah, akhlak, adab, tata krama, unggah-ungguh, bakat, talenta. Namun, siapa peduli dengan semua kata itu?

50 juta anak sekolah di Indonesia sedang ditimang-timang nasibnya oleh tangan politik pendidikan. Nasib masa depan anak-anak itu dirembuk lalu diputuskan seperti rundingan hari ini kita minum kopi di warung siapa. “Ini kalau soal yang begini tidak boleh diputuskan hanya di tingkat menteri karena itu 50 juta anak yang terdampak, yang SD, SMP, SMA kan 50 juta orang,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Bahkan bukan sekadar tidak boleh diputuskan di tingkat menteri saja—ini soal konteks betapa sangat beragam adat istiadat, budaya, model pendidikan non formal yang hidup di Indonesia. Bhineka Tunggal Ika tidak cukup di-saya-kan—ia adalah semangat sekaligus sikap mengayomi, mewadahi, merangkul semua kebihinekaan itu. Sentralisasi pendidikan bukan satu-satunya solusi.

Kalau ada waktu luang, sesekali kita tengok pendidikan non formal di pelosok kampung Nusantara. Mulai Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ), Sanggar Belajar dengan berbagai varian dan macam kegiatan, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dengan beragam pola asuh dan pendekatan kepada masyarakat, hingga pendidikan yang “tak kasat mata”, seperti kearifan universal di kampung-kampung adat. Sungguh tidak elok sekolah merampas semua potensi itu.

Taman Pendidikan Al-Quran, misalnya. Bisa dipastikan, guru yang mengajar di TPQ adalah warga setempat. Adalah perbuatan bodoh kalau guru TPQ mengajarkan akidah sesat atau menanamkan radikalisme pada anak-anak. Ia pasti akan berhadapan langsung dengan kontrol sosial-budaya-agama warga setempat. Artinya, masyarakat tidak bodoh-bodoh amat kalau urusan pendidikan karakter.

Seorang kawan tiba-tiba menghampiri saya. “Ngapain repot-repot mikir sekolah delapan jam sehari,” katanya. “Anggap saja keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu seperti sidang isbat yang menetapkan 1 Syawal. Mau ikut keputusan sidang isbat monggo, tidak ikut ya monggo.” []

Jagalan 14.06.17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun