Pernahkah kita menimbang berapa “kilogram” peristiwa yang sesungguhnya tidak terlalu penting sedang memenuhi otak perhatian kita? Setiap orang pasti berbeda skala prioritas dan bobot perhatiannya terhadap peristiwa yang menyita hidupnya. Sebut saja, misalnya pembebasan Ahok, pembubaran HTI, Islam garis keras, ancaman NKRI dan seterusnya. Namun, benarkah itu semua harus membenam dalam jantung kesadaran—atas nama dan demi apapun—sehingga hidup terasa kaku, tegang dan seram? Ayolah rileks, Kawan!
Ajakan saya ini langsung direaksi oleh kawan saya sebagai sikap cuek yang berbahaya. Memerlukan durasi sekitar 30 menit baginya untuk mengkuliahi saya tentang Bhineka Tunggal Ika, kesatuan dan persatuan NRKI, potensi perpecahan yang direncanakan, penjarahan sumber daya alam Nusantara.
Melamun dan Momen Kreatif
Sekadar mengajak rileks saja urusannya jadi panjang dan rumit. Mengapa kita gampang tersulut dan disulut? Jangan-jangan yang kita perlukan bukan teori, formula, ideologi atau provokasi yang ndakik-ndakik—kita sedang sangat perlu melamun.
Ya, melamun—berpikir bebas secara asosiatif, atau bahkan acak dan melompat-lompat, tidak terutama tentang persoalan yang rumit dan berat. Sejenak melakukan refleksi. Ritme degup jantung tenang dan stabil. Nafas rileks tapi dalam. Raut muka sumringah. Jidat tak usah ditekuk. Kita menikmati alam kesadaran ketika salah dan benar, baik dan buruk, wangi dan busuk tidak terpolar sebagai lawan, tapi sebagai harmoni anugerah Tuhan.
Kita perlu berjarak dengan fakta dan informasi yang beredar di luar. Semacam melakukan “pause”, sejenak saja, sesuai ukuran kebutuhan kita masing-masing, agar tidak mabuk oleh konsumsi eksternal yang melampaui batas.
Membiarkan pikiran melayang, menerabas batasan-batasan logika, melakukan simulasi kejadian tanpa disesaki beban, dapat mengarah pada pemecahan masalah yang lebih kreatif. Dan itu bisa dikerjakan kapan dan dimana saja, di tengah tekanan batas waktu pekerjaan, saat duduk di angkot, atau bahkan ketika sedang menulis sebuah artikel.
Mungkin terasa sulit, tapi kita perlu terus menerus melatih kelenturan jaringan internal dan eksternal otak. Daniel Willingham, Profesor Psikologi di University of Virginia menyebut sistem internal yang diaktivasi itu bernama jaringan asal. Dua sistem atensi yang berbeda itu kerap digunakan secara tidak seimbang. Kita memberi porsi aktivasi yang sangat sedikit terhadap aktivasi sistem internal ini.
"Jaringan asal secara khusus aktif saat Anda berpikir tentang diri Anda sendiri, tentang masa lalu, tentang masa depan," kata Willingham. "Kedua (sistem atensi) tidak dapat aktif pada saat bersamaan, namun mereka terhubung dalam beberapa hal." Tidak dapat aktif secara bersamaam, namun kita bisa menggunakannya secara bergantian dalam satu aktivitas, seperti kerja sama antara tangan kiri dan kanan.
Sayangnya, kita terbelah oleh dikotomi bekerja dan rekreasi. Bekerja ya bekerja. Rekreasi yang rekreasi. Bekerja dan rekreasi menjadi dua kubu yang tidak usah saling melengkapi pada waktu yang bersamaan.
Maka, di tengah arus cepat informasi dan tuntutan pekerjaan kita memerlukan jeda, berhenti sejenak, rileks, untuk melamun—melepaskan tali yang mengikat gerak pikiran. "Momen-momen paling kreatif datang saat otak saya ijinkan beristirahat," kata Megan King, seorang desainer grafis untuk biro arsitek dan teknik Global Inc.
Hidup yang Terbelah
Kecenderungan hidup yang terbelah oleh satu sisi, satu cara pandang, satu dikotomis semakin menguat. Kita menciptakan padatan-padatan. Seakan-akan Tuhan menempelkan satu format padatan pada manusia: padatan radikal, padatan liberal, padatan toleran, padatan intoleran. Apabila label padatan yang disematkan pada sosok atau kelompok itu kita cermati benar, maka akan tampak betapa ciut dan sempit hidup ini.
Manusia itu mengandung dua potensi sekaligus: radikal dan liberal, toleran dan intoleran, pintar dan bodoh, malaikat dan iblis. Manusia adalah makhluk sejuta kemungkinan, sejuta pilihan, sejuta cara pandang. Saat memilih pasangan hidup, kita harus bersikap radikal—memilih satu saja diantara sejuta gadis yang ada di dunia. Atas segala kelebihan dan kekurangan pasangan, kita bersikap toleran.
Persoalannya adalah empan papan dua potensi itu kini sedang karut marut, tertukar-tukar, morat-marit. Kita hidup di zaman walikan. Yang neraka disurgakan, yang surga dinerakakan. Kita kehilangan presisi dan akurasi—terombang-ambing, terseret-seret oleh ketidakseimbangan yang kita ciptakan sendiri.
Kita sangat memerlukan sikap dan perubahan yang revolusioner. Menerima keadaan melamun sebagai pilihan yang revolusioner di tengah semakin banyak orang yang kecanduan media sosial. Jadi, kapan terakhir kali Anda melamun? []
jagalan 12.05.17
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI