Dengan tulisan ini saya tidak hendak melibatkan diri dalam pro-kontra pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya bukan faktor di tengah riuh rendah perbincangan anti Islam, intoleransi, atau tema sejenis. Saya sekadar melacak titik keseimbangan tidak terutama untuk menemukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Sebab, semakin mendesak pula untuk kita temukan sebenarnya apa yang salah dan apa yang benar.
Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifah di bumi. Khalifah—wakil Tuhan: mengurus kehidupan, memanageri sumber daya alam, menata segala persoalan agar berada di titik keadilan.
Menjadi seorang khalifah tidak usah dibayangkan terlalu besar dan muluk. Petani yang mencangkul di sawah, mengolah tanah, menanaminya padi adalah pekerjaan seorang khalifah. Tukang becak yang ramah, nggenjot becaknya dengan hati-hati untuk mematiskan keselamatan penumpang hingga tiba di tempat tujuan adalah pekerjaan seorang khalifah.
Tidak peduli apa pekerjaan dan profesi kita, selama output yang dihasilkan adalah keadilan, kebaikan, kemaslahatan bersama—itulah pekerjaan khalifah. Tugas-tugas mengola kehidupan itu disebuh khilafah, pelakunya dinamakan khalifah—keduanya berangkat dari akar kata yang sama.
Khilafah yang Dipadatkan
Terminilogi khilafah dan khalifah yang tidak dicabut dari denotasi akar kata dan belum dimuati oleh konotasi kepentingan ideologi perlu dicermati benar. Subtansi khilafah adalah perwujudan sifat Rahman dan Rahim Tuhan, lengkap dengan pengejawantahan yang pasti harus dimuati oleh kedua sifat itu.
Pemadatan dan formalisme Islam menjadi, misalnya ruang sempit ideologi yang hitam putih, negara Islam melawan negara tahgut, tidak hanya ditemui pada polemik khilafah sebagai proses perjuangan ideologi. Praktek ibadah mahdloh pun kerap diperlakukan sebagai padatan dan formalisme. Seruan: “Awali harimu dengan shalat Dluha!”—juga menyimpan padatan-padatan yang—maaf—membodohkan.
Substansi menjadi kabur. Anak sholih adalah anak yang hafal Al-Quran—dengan tekanan dan nuansa informasi yang segaja digiring agar tiba pada kesimpulan: anak yang tidak hafal Al-Quran bukan anak shalih.
Entah, kita ini sedang merasa menjadi makhluk apa. Fakta bahwa manusia adalah makhluk sejuta kemungkinan sedang ditindih oleh paradoksal-hegemoni manusia adalah makhluk kepastian.
Apa sebab? Praktek menjalani agama, politik, ekonomi, pendidikan menempatkan humanisme dan Tuhan sebagai faktor pada urutan kesekian. Faktor primernya adalah mencapai kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Kepentingan itu pun cukup digambarkan secara “bersahaja”, lugas dan jelas: kaya dan berkuasa.
Humanisme Misuh
Humanisme yang saya maksud sederhana saja. Kalau kita naik motor, lalu pengendara lain tiba-tiba memotong jalan, bentuk ekspresi kaget dan marah akan bermacam-macam. Arek Suroboyo akan spontan mengeluarkan salam jawa timuran alias misuh: “Jiancuk, matane!” Anak santri akan teriak: “Astaghfirullah!”. Orang Jawa akan akan mengumpat: “Anake kadal!”
Pertengkaran kita selanjutnya adalah arek Suroboyo yang misuh dituduh berkata kasar. Tidak memiliki akhlak dan moral. Anak santri dituding berbuat SARA dan intoleran karena membawa-bawa agama untuk urusan di jalan raya. Orang Jawa dicap anti Bhineka Tunggal Ika karena memakai idiom ungkap bahasa Jawa.
Adapun fakta mengapa meraka misuh, istighfar dan mengumpat, bagaimana perasaan orang yang tersentak oleh pengendara motor yang tiba-tiba memotong jalan tidak menjadi titik berangkat untuk memahami ekpresi kaget dan marah itu. Manusia bisa marah, kaget, tersinggung, ngamuk dan pada saat yang lain bisa sabar, lapang dada, kepala dingin—bukan kenyataan yang wajib dipahami untuk menemukan titik keseimbangan berperilaku.
Kita sembrono menjadi pengadil cukup berbekal dari apa yang dilihat dan didengar—tanpa perlu menilik fakta yang menjadi sebab. Padatan-padatan dan formalisme pun saling bertabrakan, berbenturan satu sama lain, mengambil posisi di kelompok pro dan kelompok kontra. Sementara pengendara yang tiba-tiba memotong jalan ngacir pergi.
Pada situasi ini, supaya seorang petani diakui sebagai muslim yang patuh, maka saat mencangkul di sawah ia harus mengenakan jubah putih dan bersurban. Keislaman bukan pada subtansi mencangkul tanah sebagai tugas seorang khalifah.
Tiga Macam Kebenaran
Maka, humanisme yang saya pahami secara sederhana adalah manusia itu makhluk kemungkinan. Potensi malaikat dan iblis bersemayam pada diri setiap manusia. Tidak ada manusia yang seratus persen malaikat dan seratus persen iblis. Para Nabi pun memiliki potensi ini, namun dijaga oleh Tuhan dengan menitipkan sifat maksum.
Kita justru melanggar hukum keseimbangan dari Tuhan dengan memutlakkan kebenaran dan kesalahan. Padahal kebenaran itu masih benere dhewe, atau sedikit di atasnya, benere wong akeh. Benere dhewe dan benere wong akeh itu lantas kita umumkan sebagai bener kang sejati. Tentu saja, dan biasanya, meminjam atas nama Tuhan.
Menungsane gak siap dadi menungsa. Manusia belum siap jadi manusia—karena terkotak-kotak dan dicacah oleh nafsu kepentingan masing-masing. Berdiri dan berpijak pada satu kepentingan. Mandeg di situ. Melihat dan memahami persoalan dari sudut posisinya. Linier. Satu arah.
Padahal hidup adalah bulatan dengan sudut pandang yang tidak terbatas. Sejuta kemungkinan cara memandang dan berperilaku ini hanya dimiliki dan dikandung oleh manusia. Namun, kita makin terbiasa mengibliskan mereka yang berbeda kepentingan, seraya memalaikatkan mereka yang segolongan.
Jadi, khilafah tidak terutama dan harus berkaitan dengan sistem besar bangunan politik. Khilafah hadir secara sederhana, sebagaimana ketaatan jantung yang berdegup dan hembusan angin pada sore hari. Khilafah adalah ketika setiap orang, siapapun ia, apapun pekerjaan dan profesinya memproduk perilaku baik dengan sesama manusia dan alam sekitar. []
jagalan 09.05.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H