Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tangis Haru Mbah Kayis dan Perilaku yang Indonesia

30 April 2017   13:02 Diperbarui: 30 April 2017   19:02 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://www.boombastis.com/

Hari masih pagi. Kang Shohib melintasi jalanan dusun dengan motornya. Saling sapa dengan warga dusun adalah salam persaudaraan yang khas. Di jalan dusun seorang kakek berjalan sambil terbungkuk-bungkuk. Tidak ada yang peduli. Kang Shohib menghentikan motornya, menawarkan tumpangan.

Mbah Kayis, kakek pemulung berusia 80 tahunan, tergagap menerima tawaran dari Kang Shohib. Mbah Kayis menolak tawaran itu. Arah perjalanannya tidak searah dengan tujuan Kang Shohib.

Mboten nopo-nopo, Mbah. (Tidak apa-apa, Mbah),” kata Kang Shohib.

“Saya turun di perempatan saja,” kata Mbah Kayis

“Masih jauh, Mbah. Saya antar sampai ke Ungapan.”

Ungapan adalah pantai di dusun Bajulmati. Jarak dari perempatan menuju pantai Ungapan masih jauh. Kang Shohib mengantar Mbah Kayis sampai Ungapan. Apa yang dilakukan Kang Shohib termasuk pekerjaan yang lalar gawe, pekerjaan yang sia-sia. Warga dusun dan juga sanak keluarga enggan memberi bantuan kepada Mbah Kayis. Orangtua ini dikenal sebagai kakek yang sangat cerewet dan keras kepala. Susah diatur. Melihat perilaku Mbah Kayis seperti itu, “wajar” bagi warga dusun untuk tidak peduli dan mentolo.

Dua orang yang berbocengan itu tiba di pantai Ungapan. Mbah Kayis menjabat tangan Kang Shohib cukup erat dan lama sekali. Mata Mbah Kayis berkaca-kaca.

Mugi-mugi Tuhan memberkati. Roh Kudus menyertai. Yesus mengayomi sak obah tindak panjenengan. Mugi-mugi panjenengan pinaringan seger waras,” Mbah Kayis mendoakan Kang Shohib. Sesaat kemudian tangis Mbah Kayis tak terbendung lagi—kakek itu benar-benar menangis.

Kang Shohib tercenung haru. Ia melanjutkan perjalanan, sementara Mbah Kayis masih tersedu-sedu oleh tangis.

Ini bukan carita fiksi. Cerita yang dikirim sahabat saya melalui Whatsapp berbarengan dengan ketika saya usai membaca berita seruan Menteri Agama untuk meredam munculnya ceramah-ceramah yang bersifat provokatif dan menyebar kebencian. Cerita Kang Shohib dan Mbah Kayis terasa paradoks dengan kenyataan yang melatarbelakangi seruan Menteri Agama itu.

Kang Shohib yang muslim dan Mbah Kayis yang penganut Kristus, terlibat dalam jalinan tolong menolong yang sama sekali tidak dihambat oleh keyakinan. Di tengah rasa gregeten warga dusun dan keluarga terhadap sikap Mbah Kayis yang keras kepala, Kang Shohib menyentuh rasa kemanusiaan orang tua itu.

Apa yang dilakukan Kang Shohib kerap disebut dakwah bil hal—dakwah dengan perbuatan yang baik. Tidak menegaskan labelasasi muslim-kafir. Tidak saling mengecam atau memojokkan keyakinan. Tidak menceramahi atau mengintrogasi keimanan, misalnya: menanyakan agamanya apa, menyembah Tuhan siapa, mengikuti tahlilan apa tidak, dan seterusnya.

Adapun doa-doa yang meluncur dari bibir Mbah Kayis berbeda dengan keyakinan Kang Shohib, itupun tidak usah dijadikan masalah. Perasaan Mbah Kayis yang luluh tersentuh itu akan spontan mengucapkan kalimat-kalimat yang terbit dari inti kesadarannya. Doa Mbah Kayis adalah buah kebaikan dari seorang penganut Kristus. Kepedulian Kang Shohib adalah buah mulia dari seorang umat Nabi Muhammad.

Maka, dusun Bajulmati, dusun-dusun lain di pelosok Nusantara, dan Indonesia adalah Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghuchu, Jawa, Sunda, Madura, Batak. Itulah Indonesia. Yang tidak Indonesia adalah yang memonopolinya demi nafsunya dan keuntungan golongannya, ungkap Mbah Markesot.

Adegan kebaikan Kang Shohib dan Mbah Kayis seakan menelanjangi ribut-ribut intoleransi, silang sengkarut formalisme wadag hidup beragama, tumpang tindih egoisme tafsir agamamu-agamamu, agamaku-agamaku.

Adapun Islam mengandung al-silmu—kedamaian, keselamatan, keadilan, kelembutan, keindahan, keseimbangan, kesejahteraan, kebersamaan, kerukunan yang oleh Tuhan diserukan agar kita memasukinya secara bersama-sama atau berjamaah.

Kang Shohib memasuki al-silmu itu. Terlihat remeh memang, sekadar perbuatan kecil dan biasa saja, di tempat yang cukup terpecil di pesisir pantai selatan—tanpa ekspose media dan mustahil menjadi viral. Namun, yang kecil dan biasa saja itu bisa jadi sangat besar dan cukup bermakna berkat sifat Kasih Sayang-Nya pada setiap manusia. Kebaikan sebiji dzarrah, sungguh dan haqqul yaqin, sedang amat diperlukan oleh bangsa Indonesia di tengah perjuangan besar praktek keagamaan yang kadang tidak dimuati oleh kesadaran al-silmu.

Begitu sederhana memasuki kelembutan dan keadilan itu, sehingga setiap orang: tukang tambal ban, pemulung, penjual kopi, dirjen, menteri, presiden bisa mempersembahkan keadilan, kebaikan, kerukunan, kedamaian pada orang lain tanpa dibebani oleh struktur formal yang mendikotomikan agama.

Sayangnya, kita terlanjur berpikir benar-salah, hitam-putih, atas-bawah, kawan-lawan. Padahal hidup tidak selinier dan sedikotomis itu. []

jagalan 23.04.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun