Apa yang dilakukan Kang Shohib kerap disebut dakwah bil hal—dakwah dengan perbuatan yang baik. Tidak menegaskan labelasasi muslim-kafir. Tidak saling mengecam atau memojokkan keyakinan. Tidak menceramahi atau mengintrogasi keimanan, misalnya: menanyakan agamanya apa, menyembah Tuhan siapa, mengikuti tahlilan apa tidak, dan seterusnya.
Adapun doa-doa yang meluncur dari bibir Mbah Kayis berbeda dengan keyakinan Kang Shohib, itupun tidak usah dijadikan masalah. Perasaan Mbah Kayis yang luluh tersentuh itu akan spontan mengucapkan kalimat-kalimat yang terbit dari inti kesadarannya. Doa Mbah Kayis adalah buah kebaikan dari seorang penganut Kristus. Kepedulian Kang Shohib adalah buah mulia dari seorang umat Nabi Muhammad.
Maka, dusun Bajulmati, dusun-dusun lain di pelosok Nusantara, dan Indonesia adalah Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghuchu, Jawa, Sunda, Madura, Batak. Itulah Indonesia. Yang tidak Indonesia adalah yang memonopolinya demi nafsunya dan keuntungan golongannya, ungkap Mbah Markesot.
Adegan kebaikan Kang Shohib dan Mbah Kayis seakan menelanjangi ribut-ribut intoleransi, silang sengkarut formalisme wadag hidup beragama, tumpang tindih egoisme tafsir agamamu-agamamu, agamaku-agamaku.
Adapun Islam mengandung al-silmu—kedamaian, keselamatan, keadilan, kelembutan, keindahan, keseimbangan, kesejahteraan, kebersamaan, kerukunan yang oleh Tuhan diserukan agar kita memasukinya secara bersama-sama atau berjamaah.
Kang Shohib memasuki al-silmu itu. Terlihat remeh memang, sekadar perbuatan kecil dan biasa saja, di tempat yang cukup terpecil di pesisir pantai selatan—tanpa ekspose media dan mustahil menjadi viral. Namun, yang kecil dan biasa saja itu bisa jadi sangat besar dan cukup bermakna berkat sifat Kasih Sayang-Nya pada setiap manusia. Kebaikan sebiji dzarrah, sungguh dan haqqul yaqin, sedang amat diperlukan oleh bangsa Indonesia di tengah perjuangan besar praktek keagamaan yang kadang tidak dimuati oleh kesadaran al-silmu.
Begitu sederhana memasuki kelembutan dan keadilan itu, sehingga setiap orang: tukang tambal ban, pemulung, penjual kopi, dirjen, menteri, presiden bisa mempersembahkan keadilan, kebaikan, kerukunan, kedamaian pada orang lain tanpa dibebani oleh struktur formal yang mendikotomikan agama.
Sayangnya, kita terlanjur berpikir benar-salah, hitam-putih, atas-bawah, kawan-lawan. Padahal hidup tidak selinier dan sedikotomis itu. []
jagalan 23.04.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H