Ini bukan soal kita nyoblos siapa, tapi aroma dan nuansa perseteruan itu menutup berjuta-juta kemungkinan, misalnya bahwa pada calon A sebenarnya memiliki muatan yang dikandung B serta sebaliknya. Di dalam calon A ada kandungan B, dan di dalam calon B ada kandungan A. Pada sesuap nasi yang kita makan, mohon jangan melupakan beras, gabah, padi, petani, sawah, pupuk. Memang demikianlah hidup—saling mengandung dan dikandung.
Kita malah mencomot, memisahkan, mencabuti integritas dan keutuhan setiap unsur itu. Kita justru sibuk memasang label pada orang lain: islam moderat, islam fundamentalis, ekstrimis, syiah, liberal, salafi, NU garis keras, NU garis lembut dan seterusnya. Seakan-akan Tuhan menciptakan manusia sebagai pecahan-pecahan, kotak-kotak, kamar-kamar, sub-sub, ranting-ranting, gelembung-gelembung yang tidak usah saling mengenal dan berhubungan.
Ideologi kita adalah idelogi nuthul—bersegera dan secepat mungkin nyaut keuntungan satu dua langkah di depan, berjangka sangat pendek, sehingga potensi kehancuran yang sedang menanti kita di masa depan tidak tampak.
Ideologi nuthul dan cara berpikir model soal pilihan ganda menghasilkan surga bagi kita, tapi neraka bagi orang lain. Simulasinya adalah setiap pecahan menciptakan surga sendiri-sendiri, dan dengan demikian, menghadirkan neraka bagi pecahan-pecahan lain. Kita sedang menabung kemenangan dengan cara mengalahkan pihak lain. Menang kang ngasorake.
Semakin men-surga-kan pecahan yang kita huni, semakin sempurna neraka bagi pecahan lain. Surga yang berbanding terbalik. Apabila itu semua sedang terjadi, maka sejatinya kita sedang menabung neraka bersama. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Maka, pertanyaannya adalah menang jadi arang, kalah jadi abu adalah: a. pribahasa; b. pantun; c. kalimat mutiara; d. puisi
jagalan 16.04,17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H