Musim ujian sekolah sudah tiba. Dimulai dari Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tingkat SMA dan SMK, kini giliran siswa kelas IX SMP menghadapi ujian nasional. Ritual sudah dilakukan: ritual doa bersama, ritual tryout, hingga ritual desas-desus membocorkan soal—menjadi berita rutin yang basi dan sarat basa-basi.
Para siswa berbaris atau lebih tepat dibariskan, untuk memasuki lorong panjang cara berpikir, cara menyikapi pertanyaan, cara menjawab pertanyaan. Tipologi soal yang ditawarkan nyaris sama sejak beberapa puluh tahun lalu: multiple choice atau pilihan ganda.
Cara Berpikir “Pilihan Ganda”
Model soal pilihan ganda merupakan model wajib di setiap lembar ujian. Zaman saya belajar di sekolah dasar, ada pula pilihan Benar – Salah (BS), Isilah titik-titik di bawah ini dan Jawablah pertanyaan. Namun, model pilihan ganda tidak pernah absen.
Dari beberapa model soal itu semuanya menawarkan cara berpikir liner—membelah pilihan jadi dua, kiri dan kanan, benar dan salah, atau lebih gamblang hitam dan putih. Siswa dikondisikan agar tepat memilih jawaban melalui tipologi soal yang mereduksi kemungkinan-kemungkinan. Bahkan jawaban yang menampilkan kemungkinan akan dinilai salah.
Soal pilihan ganda adalah modifikasi dari tipologi soal yang hitam putih itu. Fokus cara berpikirnya tetap sama: membelah fakta menjadi kiri-kanan, benar-salah, hitam-putih. Alam berpikir siswa dipangkas sedemikian rupa agar menghadirkan dua pilihan saja, benar atau salah. Adapun opsi jawaban yang ditampilkan, tidak lebih dan bahkan pasti, adalah pilihan yang salah. Hanya satu jawaban yang benar.
Karakter dan watak pengetahuan yang diujikan pasti sesuatu yang paten. Soal matematika sangat cocok menggunakan model pilihan ganda. Misalnya, soal 4 X 4 tidak memiliki kemungkinan lain selain 16. Tapi itu jawaban dunia sekolah. Di dunia politik yang dipanglimai kepentingan, agama yang ditunggangi, pendidikan yang dininabobokkan, jawaban 4 X 4 adalah kalau 16 menguntungkan kelompok saya, ya 16. Kalau mengurangi potensi jumlah suara, ya belum tentu 16.
Matematika yang dikenal sebagai ilmu pasti itu pun berhadapan dengan relativitas cara pandang, nafsu kepentingan, hitungan untung rugi materi. Bagaimana pula nasib ilmu yang tidak pasti?
Dan sekolah bertahan dengan garis liner itu—siswa dikondisikan, dididik, dihadapkan pada dua pilihan absolut. Gagaplah mereka mengeja fakta yang bergerak dinamis, melingkar-lingkar, naik turun, maju ke belakang, mundur ke depan pada kehidupan nyata. Bukankah sejumput fakta mengandung ratusan, ribuan, jutaan unsur yang tidak selalu tampil kasat mata, namun sumbangsih eksistensinya begitu nyata?
Ideologi Nuthul dan Surga yang Neraka
Pada konteks dan skala tertentu, eker-ekeran pilkada yang menguras energi tak ubahnya seperti siswa mengerjakan soal pilihan ganda, yang setiap pelaku sudah tersetting cara berpikir, sikap berpikir, sudut berpikir yang terpolarisasi oleh garis pemisah.