Cinta tanah kelahiran adalah bibit nasionalisme, dan Tuhan pasti punya maksud mengapa saya tidak lahir di Panama, Afganistan atau Kutub Utara.
Saya akan mengolah diri menjadi manusia Jawa tanpa harus dicurigai akan menindas Indonesia. Jawa—sebagaimana Sunda, Bugis, Batak dan sejumlah suku lainnya akan ngemong Indonesia. Jadi, yang penting bukan siapa Anda, tapi apa produk perilaku Anda—memiliki kontribusi yang baik bagi orang lain, masyarakat, umat manusia ataukah destruktif bagi keberlangsungan hidup bersama?
Yang membuat kita sangat prihatin dan sedih bukan dia orang Jawa, Bugis, Cina atau Arab, melainkan manusia kok serakah. Manusia kok mencuri. Manusia kok menghina manusia. Manusia kok merancang pembunuhan. Manusia kok menindas manusia. Manusia kok menguras isi perut bumi sambil melupakan nasib masa depan anak cucu.
Demikian juga dengan kasus korupsi. Bukan terutama fokus kita pada betapa eman uang triliunan rupiah digarong—tetapi menyaksikan manusia serakah ramai-ramai mencuri, itu yang membuat kita menangis.
Pribumi atau non pribumi menjadi tidak relevan, ahistoris, dan ambigu karena tidak pro-bumi dan tidak pro-manusia—ketika keduanya dipakai untuk menindas alam dan manusia. Kita tidak sedang berdiri di salah satu pihak seraya mem-pihak-kan pihak lain. Sebab standar indikator perilaku manusia tidak terletak pada asesoris sosial, sekat-sekat kultural, atau atribut politik—melainkan adil dan beradab ataukah tidak.[]
jagalan 02.04.16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H