Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pribumi, Probumi dan Pro-(Ke)Manusia(an)

2 April 2017   22:42 Diperbarui: 4 April 2017   15:18 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.boombastis.com/

Pertanyaan yang mengganjal di benak saya adalah apa kriteria seseorang disebut pribumi? Siapa yang menentukan Anda pribumi, sementara Anda yang lain bukan pribumi? Tidak perlu dijawab sekarang dan tidak harus dijawab, karena tulisan ini juga tidak sedang menjawab pertanyaan itu.

Saya hanya merasa gatal saja oleh, lagi-lagi, situasi gaduh, seolah-olah kita tidak memiliki pekerjaan selain menciptakan kegaduhan. Seekor ayam bisa saja menyadari burung elang lebih unggul darinya. Lalu segerombolan ayam melakukan diskontinuasi sejarah untuk meng-elang-kan diri mereka. Keributan antar ayam pasti tak terelekkan—bukan terutama karena terjadi kontroversi, melainkan irasionalitas itu disadari sebagai puncak rasionalitas.

Saya mencium irasionalitas semacam itu ketika pribumi dan non pribumi dipolitisasi secara sepihak. Diksi “pribumi” ditimpa konotasi yang liar—seakan sengaja dipasang berhadapan dengan non pribumi. Kita memang terbiasa berpikir secara serampangan. Kita mencari “siapa” yang salah, bukan “apa” yang salah.

Apa yang salah itu maksudnya kita tidak melakukan kontinuasi sejarah masa lalu untuk menemukan sangkan paran. Kita seperti tiba-tiba lahir begitu saja dan langsung beranjak dewasa di sebuah negeri bernama Indonesia. Kita adalah 9 yang tidak menyadari 8, 7,…3, 2, 1.

Melacak "Se-Pribumi" Apakah Kita?

Istilah pribumi bisa dilacak dengan mempertimbangkan, misalnya bagaimana Hindia-Belanda membentuk kelas-kelas sosial. Kelas paling bawah adalah “pribumi” yang dihuni orang Betawi, Jawa, Sunda, Bugis dan seterusnya. Atau kita mundur beberapa abad hingga zaman sebelum Majapahit.

Pemetaan genetik yang dilakukan Genographic bisa juga dijadikan rujukan. Komposisi genetik penduduk Indonesia adalah 6 persen Arab, 6 persen Afrika, 5 persen Asia Timur, 74 persen Asia Tenggara dan Oseania, dan 9 persen Asia Selatan. Atau mundur lebih jauh lagi hingga ke anak turun Nabi Sulaiman—dan semua itu tidak untuk bahan eyel-eyelan, waton omong, rebutan bener. Perjalanan olang-alik itu memerlukan akurasi dan validitas penelitian yang terbuka bagi siapa saja agar bangsa Indonesia mengenal genetika sejarahnya.

Kita ini bangsa Garuda ataukah bangsa manuk emprit? Tidakkah kita menyadari upaya “empritisasi” atas bangsa Garuda yang dilakukan secara sistematis dengan memutus kontinuasi sejarah? Sebut saja satu contoh, misalnya mengapa tidak terjadi kontinuasi pendidikan yang pondasinya dibangun oleh Ki Hadjar Dewantara, kecuali hanya mengadopsi slogan tut wuri handayani? Dimanakah letak wacana keilmuan Ki Ageng Suryomentaram, “Kantong Bolong” Sosrokartono, kode-kode zaman Ranggawarsita dalam konstelasi cara berpikir politik, ekonomi, budaya atau kenegaraan kita?

Bahkan sistem nilai peradaban Nusantara yang sejatinya ditopang oleh kesadaran universal dan berhasil diproyeksikan oleh nenek moyang ke dalam tatanan kehidupan sosial budaya, kita namakan kearifan lokal. Sedangkan di saat yang sama kita terombang-ambing di tengah lautan gelombang universalitas yang membuat kita sibuk dalam pertengkaran-pertengkaran.

Pro-Bumi dan Pro-Kemanusiaan

Maka, saya memilih pro-bumi saja, bumi Nusantara, karena saya tidak mungkin bersikap a-historis. Saya lahir dan besar di bumi Nusantara, di negara Indonesia. Sikap a-historis adalah kalau saya menyangkal fakta sejarah itu lalu menjadi bukan diri saya, baik bukan sebagai manusia, masyarakat dan warga negara. Perangkat sosial budaya harus saya letakkan dan berdiri di atas tanah kenyataan bahwa Jawa-Indonesia adalah tanah kelahiran saya.

Cinta tanah kelahiran adalah bibit nasionalisme, dan Tuhan pasti punya maksud mengapa saya tidak lahir di Panama, Afganistan atau Kutub Utara.

Saya akan mengolah diri menjadi manusia Jawa tanpa harus dicurigai akan menindas Indonesia. Jawa—sebagaimana Sunda, Bugis, Batak dan sejumlah suku lainnya akan ngemong Indonesia. Jadi, yang penting bukan siapa Anda, tapi apa produk perilaku Anda—memiliki kontribusi yang baik bagi orang lain, masyarakat, umat manusia ataukah destruktif bagi keberlangsungan hidup bersama?

Yang membuat kita sangat prihatin dan sedih bukan dia orang Jawa, Bugis, Cina atau Arab, melainkan manusia kok serakah. Manusia kok mencuri. Manusia kok menghina manusia. Manusia kok merancang pembunuhan. Manusia kok menindas manusia. Manusia kok menguras isi perut bumi sambil melupakan nasib masa depan anak cucu.

Demikian juga dengan kasus korupsi. Bukan terutama fokus kita pada betapa eman uang triliunan rupiah digarong—tetapi menyaksikan manusia serakah ramai-ramai mencuri, itu yang membuat kita menangis.

Pribumi atau non pribumi menjadi tidak relevan, ahistoris, dan ambigu karena tidak pro-bumi dan tidak pro-manusia—ketika keduanya dipakai untuk menindas alam dan manusia. Kita tidak sedang berdiri di salah satu pihak seraya mem-pihak-kan pihak lain. Sebab standar indikator perilaku manusia tidak terletak pada asesoris sosial, sekat-sekat kultural, atau atribut politik—melainkan adil dan beradab ataukah tidak.[]

jagalan 02.04.16

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun