Bagaimanapun, Siti Rokayah adalah seorang ibu. Peran yang tidak bisa dijalankan secara linier. Kepala keluarga berada di pundak Bapak atau Ayah. Namun, Rokayah atau para ibu yang lain adalah kepala rumah tangga. Mereka mengurusi, memanage, mengkalkulasi, mendistribusi urusan keluarga yang pating-prentil. Mulai memantau harga cabe, kualitas beras, bayar listrik, uang bulanan sekolah anak hingga cucian yang nglumbruk di pojokan kamar mandi.
Pada saat yang sama, seorang ibu adalah juga seorang istri, anggota jamaah tahlil, ketua Dharma Wanita, tukang masak, penjual nasi pecel. Fungsi sejarah yang mungkin cukup berat dijalani oleh seorang perempuan yang kerap dikonotasikan sebagai makhluk yang lemah. Konotasi ini perlu ditakar dan dikoreksi ulang, mengingat para perempuan, kaum ibu sangat kuat dan tegar di beberapa medan hidup yang tidak setiap laki-laki atau seorang ayah tatag menghadapinya.
Keperkasaan seorang ibu tersembunyi di balik watak feminin yang lembut, lemah gemulai dan anggun. Pada sisi yang lain keperkasaan laki-laki atau ayah menyimpan kelembutan dan bahkan kecengengan tertentu. Kelembutan dan keperkasaan itu menyatu pada diri seorang ayah dan ibu dalam takaran dan ekspresi yang berbeda.
Peran seorang ibu dan ayah tidak bisa digantikan atau diwakilkan orang lain. Nuansa, watak, karakter, model komunikasi sosial di lingkungan keluarga selalu diwarnai oleh peran sejarah yang tak tergantikan itu. Ketika seorang ibu terlibat fungsi sosial baik dengan anak kandung sendiri maupun warga masyarakat, harkat dan martabat keibuan akan mewarnai sepak terjangnya.
Seorang ibu, bagaimanapun, adalah seorang ibu. “Saya selalu mendoakan agar saleh, disadarkan,” yang diungkapkan ibu Rokayah merefleksikan “hati” seorang ibu.
Lobang perselisihan kasus antara Ibu Rokayah dengan menantu dan anak kandungnya, serta sejumlah kasus serupa lainnya, justru diawali oleh sangka baik diantara mereka sebagai anggota keluarga. Memperlakukan rasionalitas hukum di awal hutang piutang jadi pakewuh. Ironisnya, logika hukum menjadi penyelesaian ketika jalur kekeluargaan buntu.
Belajar dari Ibu Rokayah, perjanjian resmi perlu ditegakkan tanpa harus ditafsiri mereka tidak saling percaya atau kehilangan kasih sayang. Perjanjian logika hukum formal menunjukkan mereka sedang saling percaya dan berkomitmen memelihara kepercayaan. Rasionalitas dan kasih sayang bukan dua pihak yang saling meniadakan. Kandungan utama rasionalitas adalah kasih sayang. Rasionalitas tanpa kasih sayang ibarat sebilah pisau di tangan pembunuh.
Saya yakin, kasih sayang Siti Rokayah sebagai ibu tidak akan sirna. Maka, wajah Ibu Rokayah adalah wajah kita semua—rakyat yang tidak pernah kehabisan stok kasih sayangnya kepada pemerintah. Rakyat adalah istri, pemerintah adalah suami. Kasih sayang istri sekaligus seorang ibu nyaris tanpa logika rasionalitas karena sangat mendalam cintanya. Saat melewati jalan seribu lobang antar kota, rakyat tetap sabar seraya bergumam, “Jalan yang penuh lobang adalah ujian agar kita waspada dan rajin berdzikir selama di perjalanan. Adakah kemuliaan yang menandingi niat tulus menciptakan keadaan yang mendekatkan diri kepada Tuhan?”
Peringatan dari pihak berwenang: “Hati-hati, jalan berlobang dan bergelombang!”—sungguh sangat-sangat dimaklumi, walaupun himbauan itu menghina nalar sehat. Korupsi berjamaah mendapat “toleransi” di hati rakyat yang luasnya bagai samudera. Berita pejabat yang melakukan korupsi hingga trilunan rupiah adalah berita ecek-ecek—tak ubahnya seperti mendengar kabar sore ini sedang hujan deras.
Rakyat tidak pusing oleh inkonsistensi terminologi pemerintah-rakyat, guru-murid, dosen-mahasiswa, negara-pegawai negeri. Bukan karena negara tidak penting, melainkan rakyat tetap bisa hidup andaikan negara tidak ada. Negara dan pemerintah membutuhkan rakyat, walaupun di abad paling modern logika dasar ini terbalik-balik.
Kasus Ibu Rokayah memang kasus perdata utang piutang. Namun, kasus itu merefleksikan kesadaran dan cara berpikir kita yang terkeping-keping. Kita rajin mem-pihak-kan orang lain dan diri kita adalah pihak yang berbeda. Rasionalitas-kasih sayang, objektivitas-subjektivitas, kepentingan-ketulusan, adalah dua pihak yang kita pisahkan secara tegas. Kita buta menatap konteks, bebal menyadari ruang lingkup, picik mencermati nuansa.
Yang berbeda kepentingan adalah musuh kita. Mereka berada di seberang sana, dan kita berada di sini. Yang di sana pasti salah, yang disini pasti benar. Kita menjadi sangat gampang berbeda dan memerangi perbedaan karena berbeda adalah ancaman. Berbeda yang dimaksud adalah berbeda kepentingan: kepentingan yang ternyata cukup pragmatis dan simpel, yaitu meraup uang sebanyak-banyaknya.
Yang kita musuhi tidak cukup orangnya. Kita juga menganggap musuh sahabat, teman dekat, anak, keluarga, kampung halaman, motor yang dinaiki, ayam, sandal orang yang kita musuhi. Hidup yang sangat luas dan dalam, penuh lapisan-lapisan kelembutan, sarat aroma-aroma ketidakpastian menjadi sepetak kamar yang sangat sempit, gelap dan pengap.
Kita pun lihai bertanya, “Ini semua salah siapa?” Sementara kita tidak cermat dan akurat menjawab pertanyaan, “Apa yang salah atas ini semua?”
Kasus perdata Ibu Rokayah, pemerintah yang gemar memerintah, budaya korupsi yang selangkah lagi menjadi peradaban, tidak bisa dipetakan kompleksitas persoalannya, apalagi diurai benang ruwetnya menggunakan pertanyaan, “Siapa yang salah?”
Sesekali bertanyalah, “Apa yang salah atas ini semua?”—pertanyaan yang semoga, minimal, tidak menciptakan situasi destruktif menyalahkan orang lain, karena aku, engkau, kita semua memiliki investasi sebagai “siapa” atas persoalan yang menjadi sangat konotatif dan makin tidak terlacak akar denotatifnya.[]
jagalan 31.13.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H