Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Mewaspadai Candu "Challenge" dan Viral Media Sosial

24 Maret 2017   16:43 Diperbarui: 25 Maret 2017   02:00 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Habis skip challenge terbitlah eraser challenge. Bukan terutama soal mana yang lebih berbahaya antara skip challenge dan eraser challenge. Namun, kata challenge yang disandingkan dengan skip dan eraser, melihat aksi kedua “permainan” itu dijalankan, serta mencermati risiko dan akibat yang ditimbulkan, aksi berbahaya  yang membuat pelakunya ketagihan itu bukanlah tantangan.  

Kita perlu kembali menakar bahwa tidak setiap “tantangan” adalah tantangan. Menyebut skip challenge sebagai tantangan tanpa mencermati bahwa itu sebenarnya bukan tantangan adalah sikap sembrono. Choking Game, Skip Challenge, Cinnamon Challenge, Sack Tipping bukan permainan dan tantangan—walaupun kata “game” dan “challenge” terlanjur disematkan.

Game yang Bikin Ketagihan dan Dolanan yang Dilupakan

Kita pasti tidak sepakat dan seribu kali berpikir untuk menyebut, misalnya “Narkoba Challenge”, “Bunuh Diri Challenge”, “Njotos Challenge”. Nalar sehat menolak semua challenge itu, karena ia memang bukan tantangan. Di tengah serbuan viral tantangan yang bukan tantangan itu logika berbahasa kita kedodoran dan cara berpikir kehilangan sikap waspada terhadap akurasi dan denotasi atas sebiji kata.

Alangkah jauh nuansa dan karakter antara “game” dan “dolanan”. Aktivitas yang menyenangkan, menantang, bahkan memiliki risiko dan akibat bikin ketagihan biasanya disebut game. Tidak heran, mencekik leher teman sampai tak sadarkan diri dinamakan Choking “Game”. Sahabat saya nyaris putus asa karena putranya yang duduk di kelas lima sekolah dasar ketagihan “game”-online. Sekolah berantakan, setiap hari mengurung diri di kamar, bermain “game” sehari penuh, dan menjadi anak pemarah.

Kita pun jarang bertanya, “Mengapa kita menyebut aktivitas yang berbahaya dan bikin ketagihan itu  ‘game’, yang secara harfiah kita terjemahkan secara mentah tanpa sikap berpikir yang waspada sebagai permainan? Apakah kita gemar bermain-main dan mempermainkan cara berpikir yang justru membahayakan kelangsungan hidup kita sendiri?”

Bagaimana dengan dolanan? Saya pikir bahasa Indonesia belum memiliki padanan kata yang bisa menuding secara tepat dan akurat untuk kata dolanan. Bagaimana dengan kata “bermain”? Secara kasat mata “bermain” bisa mewakili aktivitas jasmaniah dolanan. Namun, terdapat rasa dan nuansa budaya, filosofi dan kandungan nilai sebuah permainan yang tidak sanggup dipotret oleh kata “bermain”.

Beberapa diksi bahasa Indonesia masih berupa padatan-padatan yang mengalami kesulitan untuk menelusup ke dalam kelembutan rasa dan nuansa yang dikandung bahasa daerah. Jadi, biarlah dolanan hidup di alamnya sendiri—alam yang kini semakin ditinggalkan oleh laju modernitas bahasa Indonesia.

Sebut saja dolanan, misalnya patelele, gobak-sodor, obak-delik, engklek, gedrik, sridendem yang menghadirkan tantangan khas dan benar-benar dibutuhkan anak. Dolanan anak zaman dahulu itu perlu dimainkan kembali, diaktualisasi muatan nilai pendidikannya supaya anak-anak sanggup menyelesaikan tantangan zaman di masa akan datang. Dolanan-dolanan itu bukan sekadar permainan apalagi game—dolanan itu adalah pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang mengantarkan anak-anak menjadi bagian dari solusi zaman. Bukan pendidikan yang mem-primer-kan pencapaian angka, poin, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), bocoran-bocoran soal Ujian Nasional, yang kelak berbuah tragedi zaman.

Game atau tantangan yang bukan tantangan yang menjadi viral merefleksikan bahwa kita sedang bermain-main membangun masa depan.  

Narkoba dan Candu Digital: Jangan Besar Kepala!

Sama-sama bikin ketagihan, demikian pula narkoba dan dunia digital. Walaupun tren penggunaan narkoba menurun dalam rentang waktu sepuluh tahun terakhir kita tetap perlu waspada. Semoga penurunan ini tidak dalam rangka conditioning pemanasan hingga pada momentum tertentu akan terjadi lonjakan lagi.

Badan Nasional Narkotika melansir data, pada 2006 ada 7,6 persen generasi muda rentang usia SLTP sampai Akademi atau Perguruan Tinggi yang terdata sebagai pengguna coba-coba. Pada 2016 angka itu turun signifikan jadi 1,6 persen. Angka pengguna narkoba pada rentang usia itu bahkan hampir kandas di 2016. Dari total 4,8 persen pada 2006 menjadi hanya 0,2 persen sepuluh tahun kemudian.

Turunnya jumlah pengguna narkoba diikuti oleh naiknya jumlah pengguna internet. Survei We Are SocialJanuari lalu menunjukkan 91 persen orang dewasa Indonesia mempunyai ponsel, dan 47 persennya menggunakan ponsel pintar. Sebanyak 21 persen menggunakan komputer, dan tablet komputer sebanyak 5 persen. Bahkan 2 persen dari 250 juta rakyat Indonesia memakai televisi internet di rumahnya. Hal ini memperlihatkan pengingkatan penggunaan gawai pintar oleh manusia Indonesia.

Beberapa kalangan menyatakan manusia sedang dilanda “kecanduan” gawai. Internet dan dunia digital menjadi “candu” baru. Adalah Pendeta Pete Phillips, Direktur Codec Research Centre for Digital Theology di Durham University, Inggris merasa jengkel ketika sembilan tahun lalu, katedral di kota itu menolaknya karena dia membaca Alkitab dari gawainya di bangku gereja.

Aturan itu kini telah diperbaharui. "Mereka mengizinkan orang untuk mengambil foto, menggunakan gawai untuk kebutuhan kebaktian—atau apapun yang ingin mereka lakukan. Perilaku telah berubah karena untuk membatasi jemaat dari penggunaan ponsel sama saja dengan meminta mereka untuk memotong lengan mereka," kata Phillips.

Ungkapan pendeta Phillips seakan membangunkan tidur kita semua—ponsel pintar menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap menit hidup kita. Setiap saat, nyaris tanpa jeda, kita membaca doa-doa yang dipanjatkan melalu status di media sosial. Otak pun merespon: lama-lama kita merasa belum berdoa kalau belum menuliskannya di dinding status.

Bukan hanya doa—status tentang niat baik, kalimat hikmah, nasehat bijak, pokoknya segala bentuk cahaya kebaikan berpendar-pendar di status media sosial, dan pada saat yang sama status yang memojokkan, memfitnah, memperkosa martabat kemanusiaan mengguyur bagaikan hujan yang sangat deras. Kita belum merasa puas berdoa dan memaki kalau belum ditulis di media sosial. Kita menjadi sangat bergantung pada media sosial. Ketika ponsel pintar tiba-tiba error atau koneksi internet ntat-ntet, kita mengutuk seribu kali.

Ketergantungan yang sangat kepada media sosial pada taraf dan konteks tertentu adalah “candu”—kita tidak bisa hidup tanpa ponsel dan akses internet. Candu yang dikuasai oleh talbis atau pengalihan kesadaran dari tanah kenyataan menuju alam maya yang justru kehadirannya menjadi sangat nyata.

Baik skip challenge, eraser challenge atau sejumlah “permainan” berbahaya lainnya, candu narkoba dan candu digital menjadi tempat sekaligus cara lari dan melarikan diri dari onggokan sampah kemajuan zaman yang diklaim paling moncer sepanjang abad perjalanan hidup manusia.

Aku yang sebenarnya Aku terpencil, tersandera dan terasing di pojokan bilik masa lalu yang gelap dan pengap. Aku “skip challenge”, aku “narkoba”, aku “media sosial” adalah kepingan-kepingan aku yang paling kasar dan wadag—kepingan yang berserakan di tengah hamparan alam raya yang maha luas ini.[]

jagalan 24.03.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun