Habis skip challenge terbitlah eraser challenge. Bukan terutama soal mana yang lebih berbahaya antara skip challenge dan eraser challenge. Namun, kata challenge yang disandingkan dengan skip dan eraser, melihat aksi kedua “permainan” itu dijalankan, serta mencermati risiko dan akibat yang ditimbulkan, aksi berbahaya yang membuat pelakunya ketagihan itu bukanlah tantangan.
Kita perlu kembali menakar bahwa tidak setiap “tantangan” adalah tantangan. Menyebut skip challenge sebagai tantangan tanpa mencermati bahwa itu sebenarnya bukan tantangan adalah sikap sembrono. Choking Game, Skip Challenge, Cinnamon Challenge, Sack Tipping bukan permainan dan tantangan—walaupun kata “game” dan “challenge” terlanjur disematkan.
Game yang Bikin Ketagihan dan Dolanan yang Dilupakan
Kita pasti tidak sepakat dan seribu kali berpikir untuk menyebut, misalnya “Narkoba Challenge”, “Bunuh Diri Challenge”, “Njotos Challenge”. Nalar sehat menolak semua challenge itu, karena ia memang bukan tantangan. Di tengah serbuan viral tantangan yang bukan tantangan itu logika berbahasa kita kedodoran dan cara berpikir kehilangan sikap waspada terhadap akurasi dan denotasi atas sebiji kata.
Alangkah jauh nuansa dan karakter antara “game” dan “dolanan”. Aktivitas yang menyenangkan, menantang, bahkan memiliki risiko dan akibat bikin ketagihan biasanya disebut game. Tidak heran, mencekik leher teman sampai tak sadarkan diri dinamakan Choking “Game”. Sahabat saya nyaris putus asa karena putranya yang duduk di kelas lima sekolah dasar ketagihan “game”-online. Sekolah berantakan, setiap hari mengurung diri di kamar, bermain “game” sehari penuh, dan menjadi anak pemarah.
Kita pun jarang bertanya, “Mengapa kita menyebut aktivitas yang berbahaya dan bikin ketagihan itu ‘game’, yang secara harfiah kita terjemahkan secara mentah tanpa sikap berpikir yang waspada sebagai permainan? Apakah kita gemar bermain-main dan mempermainkan cara berpikir yang justru membahayakan kelangsungan hidup kita sendiri?”
Bagaimana dengan dolanan? Saya pikir bahasa Indonesia belum memiliki padanan kata yang bisa menuding secara tepat dan akurat untuk kata dolanan. Bagaimana dengan kata “bermain”? Secara kasat mata “bermain” bisa mewakili aktivitas jasmaniah dolanan. Namun, terdapat rasa dan nuansa budaya, filosofi dan kandungan nilai sebuah permainan yang tidak sanggup dipotret oleh kata “bermain”.
Beberapa diksi bahasa Indonesia masih berupa padatan-padatan yang mengalami kesulitan untuk menelusup ke dalam kelembutan rasa dan nuansa yang dikandung bahasa daerah. Jadi, biarlah dolanan hidup di alamnya sendiri—alam yang kini semakin ditinggalkan oleh laju modernitas bahasa Indonesia.
Sebut saja dolanan, misalnya patelele, gobak-sodor, obak-delik, engklek, gedrik, sridendem yang menghadirkan tantangan khas dan benar-benar dibutuhkan anak. Dolanan anak zaman dahulu itu perlu dimainkan kembali, diaktualisasi muatan nilai pendidikannya supaya anak-anak sanggup menyelesaikan tantangan zaman di masa akan datang. Dolanan-dolanan itu bukan sekadar permainan apalagi game—dolanan itu adalah pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang mengantarkan anak-anak menjadi bagian dari solusi zaman. Bukan pendidikan yang mem-primer-kan pencapaian angka, poin, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), bocoran-bocoran soal Ujian Nasional, yang kelak berbuah tragedi zaman.
Game atau tantangan yang bukan tantangan yang menjadi viral merefleksikan bahwa kita sedang bermain-main membangun masa depan.
Narkoba dan Candu Digital: Jangan Besar Kepala!