Apabila yang dimaksud gerakan literasi adalah membaca buku, hanya membaca buku dan semata-mata hanya membaca buku—bukankah kegiatan pagi sebelum pelajaran dimulai sudah mengajak siswa membaca buku? Apabila yang menjadi ukuran keberhasilan “indeks gemar membaca” adalah banyaknya buku yang dibaca siswa—maka gampang saja jalan keluarnya: tentukan target berapa buku yang harus dibaca siswa dalam sehari, seminggu, satu bulan dan seterusnya. Selesai.
Namun, hanya seperti itukah literasi digerakkan dan diukur standar keberhasilannya? Apa pondasi untuk membangun gerakan literasi yang sebenarnya: buku, perpustakaan, aktivitas membaca itu sendiri, cara berpikir, sikap berpikir, sudut pandang berpikir ataukah terdapat aktivitas yang lebih subtansial dari semua itu yang menunjukkan seseorang melek literasi?
Literasi Cap Manuk Emprit
Terus terang saya gemes menyaksikan “gebyar” aksi literasi tapi tidak pernah serius melacak akar persoalan yang sebenarnya, misalnya terkait cara berpikir dan konteks berpikir. Gerakan literasi yang dipahami, dibatasi, lalu dikonotasikan hanya sebagai gerakan membaca buku merupakan buah dari cara berpikir yang tidak membedakan antara melek huruf dan melek aksara.
Kita juga tidak sungguh-sungguh menemukan jawaban, apa beda antara melek huruf dan melek aksara? Padahal, akar sejarah, filosofi, muatan nilai, kontekstualitas antara huruf dan aksara memiliki perbedaan mendasar. Nenek moyang kita memang buta huruf—buta literer A, B, C dan seterusnya—namun mereka tidak buta aksara. Dominasi huruf mengatasi aksara tanpa mempertimbangkan kontinuasi akar sejarah.
Dalam konteks sebagai manusia Jawa, kita telah menjadi manusia huruf A, B, C seraya menanggalkan kesadaran sejarah sebagai manusia Ha, Na, Ca, Ra, Ka. Kita menjadi manusia “nasi’’ tapi tidak ingat sebelum nasi kita adalah manusia “beras”, “gabah”, “padi”, “sawah”—lagi-lagi kita sukses memutus kontinuasi proses sejarah diri sendiri, baik sebagai manusia Jawa maupun sebagai bagian dari sejarah panjang bangsa Nusantara.
Kata “Jawa” ini silahkan diganti misalnya Bugis, Madura, Batak dan sejumlah suku bangsa yang tersebar di negeri ini. Kita ini bangsa Garuda tapi literasi kita cap manuk emprit.
Kita menjadi sangat cemas dan gelisah menatap kenyataan Indonesia berada di urutan ke-121 negara dengan tingkat melek huruf sebesar 92,8 persen—satu tingkat saja di bawah Afrika Selatan dengan tingkat melek huruf sebesar 93 persen dan setingkat di atas Myanmar dengan tingkat melek huruf sebesar 92,7 persen. Ini berarti masih ada 7,3 persen masyarakat di Indonesia yang masih perlu bantuan orang lain untuk memahami teks tertulis.
Bulan Maret tahun lalu, Central Connecticut State University mempublikasikan riset bertajuk World's Most Literate Nations (WMLRN). Indonesia berada di posisi kedua terbawah, urutan ke-60, tepat satu tingkat di atas Botswana. Indonesia kalah dari negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand di posisi 59, Malaysia di posisi 53, atau Singapura di posisi 36.
Menatap kenyataan pahit itu kita semakin tidak percaya diri. Kita mengejar “ketertinggalan” itu bukan saja agar sejajar dengan negara lain—kita bahkan berpikir dan berbuat dengan gaya dan cara yang sejatinya bukan diri kita. Tidak percaya diri itu dikarenakan kita tidak mengerti asal usul.
Berbagai survei dan riset literasi internasional menempatkan Indonesia pada urutan buncit. Baiklah, kita harus bangkit. Persoalannya adalah bagaimana kebangkitan melek literasi itu dijalankan? Literasi tidak bisa berdiri sendiri atau dipisahkan dari aspek dan bidang kehidupan yang lain. Ngomong literasi akan terkait dengan, misalnya sistem pendidikan, model kurikulum, kualitas guru, distribusi buku pelajaran, politik pendidikan dan seterusnya.
Merujuk pada hasil riset Central Connecticut State University, posisi teratas literasi ditempati negara yang mapan dan kokoh ekonominya. Literasi, dengan demikian, terkait pula dengan kondisi perekonomian. Studi yang dilakukan UNESCO menunjukkan, di negara miskin seperti Kamerun, satu buku pelajaran digunakan untuk 12 siswa.
Hal itu pasti bukan sekadar persoalan distribusi buku—biaya cetak buku yang mahal, daya beli masyarakat yang pas-pasan, pengunaan anggaran pendidikan yang disandera oleh budaya korupsi, akses pendidikan yang dikotomis antara kota dan desa, perlombaan biaya sekolah (swasta) yang sundul langit adalah setitik lingkaran di tengah kompleksitas persoalan literasi.
Gerakan Membaca Vs Gerakan Literasi
Di tengah turbulance gerakan literasi itu, muncul tuduhan minat baca masyarakat yang rendah dan semakin turun diakibatkan oleh perkembangan media sosial. Facebook, Whatsapp, Instagram wa ‘alaa alihi wa shahbihi menjadi penyebab berpalingnya masyarakat dari buku. Kesimpulan ini benar adanya—tapi, maaf, naif dan lucu.
Kebiasaan menuduh atau menyalahkan perkembangan teknologi menunjukkan cara dan sikap berpikir yang amburadul. Pisau dapur bisa digunakan untuk ngonceki bawang, lombok dan bumbu dapur. Pada saat yang berbeda pisau bisa dipakai untuk melukai orang lain. Demikian pula teknologi dan media sosial—ia adalah “alat” yang bergantung pada software berpikir seseorang akan digunakan untuk apa.
Maka, software berpikir yang error itu tidak bisa diatasi hanya mengandalkan gerakan literasi—apalagi yang dipersempit sekadar membaca buku. Gerakan literasi yang dipahami secara sempit bukan solusi primer menyelesaikan lemah nalar, karena akar persoalannya bukan pada kemampuan memahami teks, melainkan soft skill berpikir itu sendiri memang belum atau, bisa jadi, tidak diajarkan.
Ringkasnya, persoalan kita tidak terutama pada lemahnya minat membaca buku tetapi pada lemah nalar dengan segala sisi, aspek serta lapisannya yang rumit dan lembut. Turbulence gerakan literasi berakar pada rapuhnya pondasi struktur berpikir.
Saya jadi teringat sahabat saya di dusun Bajulmati Kab. Malang. Kang Izar dan Kang Mahbub, dua pengabdi pendidikan itu mengajak siswa Sekolah Dasar Harapan melacak sejarah dusun mereka. Mengapa bernama Bajulmati, bagaimana cerita dan latar belakang sejarahnya, apa potensi yang dimiliki dusun Bajulmati? Bagaimana cara merawat potensi lingkungan? Anak-anak melakukan riset sederhana untuk mengenal dusun mereka. Untuk melengkapi data riset anak-anak membaca buku yang ragam dan jumlahnya sangat terbatas. Sesekali mereka diajak browsing dengan kualitas sinyal yang ntat-ntet alias putus nyambung.
Apa yang dikerjakan anak-anak itu adalah membaca yang benar-benar membaca—membaca kenyataan diri, membaca kenyataan dusun, bahkan membaca masa depan. Di tengah aktivitas membaca itu “membaca” buku adalah satu titik kecil saja. Mereka bukan sekadar melek literasi—mereka melek gerakan membaca secara mendasar, substansial dan universal.
Perpustakaan anak-anak itu adalah alam dusun Bajulmati yang membentang dengan aneka ragam potensi: sungai, hutan bakau, muara, pantai, laut selatan, bukit, gunung, goa. Mereka adalah para Garuda bangsa Nusantara. Jangan dikebiri dengan cara berpikir atau gerakan literasi cap manuk emprit. []
jagalan 20.03.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H