Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Turbulence" Gerakan Literasi Cap Manuk Emprit

20 Maret 2017   22:36 Diperbarui: 22 Maret 2017   05:00 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerakan membaca model dusun. Foto: Dok. Pribadi

Merujuk pada hasil riset Central Connecticut State University, posisi teratas literasi ditempati negara yang mapan dan kokoh ekonominya. Literasi, dengan demikian, terkait pula dengan kondisi perekonomian. Studi yang dilakukan UNESCO menunjukkan, di negara miskin seperti Kamerun, satu buku pelajaran digunakan untuk 12 siswa.

Hal itu pasti bukan sekadar persoalan distribusi buku—biaya cetak buku yang mahal, daya beli masyarakat yang pas-pasan, pengunaan anggaran pendidikan yang disandera oleh budaya korupsi, akses pendidikan yang dikotomis antara kota dan desa, perlombaan biaya sekolah (swasta) yang sundul langit adalah setitik lingkaran di tengah kompleksitas persoalan literasi.

Gerakan Membaca Vs Gerakan Literasi

Di tengah turbulance gerakan literasi itu, muncul tuduhan minat baca masyarakat yang rendah dan semakin turun diakibatkan oleh perkembangan media sosial. Facebook, Whatsapp, Instagram wa ‘alaa alihi wa shahbihi menjadi penyebab berpalingnya masyarakat dari buku. Kesimpulan ini benar adanya—tapi, maaf, naif dan lucu.

Kebiasaan menuduh atau menyalahkan perkembangan teknologi menunjukkan cara dan sikap berpikir yang amburadul. Pisau dapur bisa digunakan untuk ngonceki bawang, lombok dan bumbu dapur. Pada saat yang berbeda pisau bisa dipakai untuk melukai orang lain. Demikian pula teknologi dan media sosial—ia adalah “alat” yang bergantung pada software berpikir seseorang akan digunakan untuk apa.

Maka, software berpikir yang error itu tidak bisa diatasi hanya mengandalkan gerakan literasi—apalagi yang dipersempit sekadar membaca buku. Gerakan literasi yang dipahami secara sempit bukan solusi primer menyelesaikan lemah nalar, karena akar persoalannya bukan pada kemampuan memahami teks, melainkan soft skill berpikir itu sendiri memang belum atau, bisa jadi, tidak diajarkan.

Ringkasnya, persoalan kita tidak terutama pada lemahnya minat membaca buku tetapi pada lemah nalar dengan segala sisi, aspek serta lapisannya yang rumit dan lembut. Turbulence gerakan literasi berakar pada rapuhnya pondasi struktur berpikir.

Saya jadi teringat sahabat saya di dusun Bajulmati Kab. Malang. Kang Izar dan Kang Mahbub, dua pengabdi pendidikan itu mengajak siswa Sekolah Dasar Harapan melacak sejarah dusun mereka. Mengapa bernama Bajulmati, bagaimana cerita dan latar belakang sejarahnya, apa potensi yang dimiliki dusun Bajulmati? Bagaimana cara merawat potensi lingkungan? Anak-anak melakukan riset sederhana untuk mengenal dusun mereka. Untuk melengkapi data riset anak-anak membaca buku yang ragam dan jumlahnya sangat terbatas. Sesekali mereka diajak browsing dengan kualitas sinyal yang ntat-ntet alias putus nyambung.

Apa yang dikerjakan anak-anak itu adalah membaca yang benar-benar membaca—membaca kenyataan diri, membaca kenyataan dusun, bahkan membaca masa depan. Di tengah aktivitas membaca itu “membaca” buku adalah satu titik kecil saja. Mereka bukan sekadar melek literasi—mereka melek gerakan membaca secara mendasar, substansial dan universal.

Perpustakaan anak-anak itu adalah alam dusun Bajulmati yang membentang dengan aneka ragam potensi: sungai, hutan bakau, muara, pantai, laut selatan, bukit, gunung, goa. Mereka adalah para Garuda bangsa Nusantara. Jangan dikebiri dengan cara berpikir atau gerakan literasi cap manuk emprit. []

jagalan 20.03.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun