Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Optimisme Nekat dan Ancaman "Lose-lose Situation"

17 Maret 2017   21:22 Diperbarui: 18 Maret 2017   10:00 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://kammistksbandung.wordpress.com/

Indonesia pernah mengalami penurunan tingkat reproduksi, 2,9 anak per perempuan pada tahun 1990-1995. Program Keluarga Berencana (KB), dua anak cukup, sukses dikawal rezim Orde Baru. Sejak reformasi bergulir hingga saat ini, tingkat reproduksi rakyat Indonesia masih lumayan, yakni 2,5 anak per perempuan (2010-2015). Bahkan Indonesia siap menyongsong bonus demografi.

WEIRD dan Budaya “Makan Gak Makan Kumpul”

Berbeda cara berpikir antara orang Barat dengan orang Asia itu pasti. Keniscayaan itu didukung oleh keberagaman sejarah, budaya dan geografi yang mengerucut pada konsep individualisme dan kolektivisme. Individualisme diwakili oleh hampir mayoritas subjek orang Barat. Para peneliti psikologi melaporkan, mereka adalah orang Barat, berpendidikan, berorientasi industri, kaya dan demokratis—western, educated, industrialised, rich and democratic, atau disingkat Weird.

Menurut Joseph Henrich dari Universitas British Columbia, perbedaan paling menyolok berkisar antara: apakah Anda menganggap diri Anda independen dan serba cukup, atau terkait dan saling terhubung dengan orang lain di sekitar Anda, lebih menghargai kelompok dibanding pribadi? Orang-orang di Barat cenderung lebih individualis dan orang-orang dari negara Asia seperti India, Jepang atau Cina cenderung lebih kolektif.

Kolektivitas negara Asia, khususnya manusia Jawa, secara gamblang ditunjukkan oleh ungkapan mangan gak mangang kumpul (makan tidak makan, kumpul). Atau ungkapan yang lebih fenomenal adalah banyak anak banyak rejeki. Perilaku kolektif ini cenderung menghargai “kesuksesan” bersama. Bahkan di saat menderita kolektifitas itu masih melekat kuat.

Ti-ji-ti-beh—mati siji mati kabeh (matu satu mati semua) merupakan komitmen bersama dikala suka maupun duka. Ti-ji-ti-beh bisa juga menunjukkan mukti siji mukti kabeh (mulia satu mulia semua). Orang Jawa masih merasa sungkan, ewuh pakewuh untuk menonjolkan diri. Mereka cenderung menutupi dan “meremehkan” kemampuan atau kompetensinya.

Bagaimana dengan orang-orang di lingkungan Barat? Mereka lebih individualis, cenderung menghargai sukses pribadi dibandingkan pencapaian kelompok. Kebutuhan harga diri yang lebih besar menjadi kebutuhan primer demi mencapai kebahagiaan pribadi. Inflasi diri atau kepercayaan diri berlebih menjadi fenomena yang menjangkiti para Weird. Di Amerika 94 % profesor mengklaim diri mereka memiliki kompetensi di atas rata-rata.

Satu hal lagi, mereka yang hidup di lingkungan yang lebih kolektif cenderung lebih holistik pada cara berpikir, lebih terfokus pada hubungan dan konteks situasi saat ini. Sementara orang-orang di lingkungan yang lebih individualis cenderung untuk fokus pada elemen-elemen yang terpisah, dan mempertimbangkan situasi-situasi sebagai hal yang tetap dan tidak berubah.

Ancaman Lose-lose Situation

Lalu apa kaitan semua itu dengan tingkat replacement fertility global yang cenderung menurun? Masih ingat bagaimana Rumania di era komunis dulu pernah menyatakan, “Kamu harus menyumbang sesuatu bagi negara. Jika bukan anak sebagai buruh masa depan, bisa diganti dengan uang!”

Ringkasnya, ekonomi negara-negara maju yang sudah mapan dan kokoh itu akan berakhir menjadi monumen mati karena tidak ada generasi yang meneruskan. Tidak ada bayi yang lahir, artnya tidak ada calon buruh atau calon pekerja murah yang menyalakan mesin produksi. Secanggih-canggihnya mesin kecerdasaan Google, pekerja manusia tetap diperlukan. Lose-lose situation sedang mengintai masa depan reproduksi negara Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun