Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anakku, Lantangkan Suaramu dan Tetaplah Teguh!

12 Maret 2017   15:43 Diperbarui: 12 Maret 2017   16:23 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Maya Mariska. Bocah perempuan kelas 5 sekolah dasar itu bercita-cita menjadi polisi wanita. Pada hari libur sekolah Maya membantu ibunya menjajakan bothokan, keliling dari rumah ke rumah. Rumah saya selalu jadi jujukan.

Kok masih banyak Nduk bothok-nya?” tanya saya.

“Iya Pak. Saya baru berangkat. Adik saya rewel sejak pagi.”

Tiga bungkus bothokan saya terima. Haru, bangga, terenyuh beraduk di dada saya. Jarang mendapati bocah perempuan seusia Maya mau keliling menjajakan makanan. Di kampung saya anak-anak perempuan lebih suka bermain dengan teman-teman seusianya. Menjelang pukul sembilan pagi ketika bothokan sudah habis, Maya bergabung dengan anak-anak yang lain, bermain bersama.

Puncak Krisis Kemanusiaan

Kisah Maya Mariska tentu berbeda dengan kisah mayoritas anak-anak pengungsi akibat perang berkepanjangan di Suriah. Save the Children menemukan hampir semua anak dan 84 persen orang dewasa mengatakan pengeboman dan berondongan peluru adalah penyebab utama stres pada anak-anak. Sekitar 71 persen yang diwawancarai Save the Children mengungkapkan anak-anak semakin sering mengompol atau kencing tanpa sadar—sebuah gejala toxic stress dan post-traumatic stress disorder (PTSD).

Ini bukan soal hak anak-anak mendapatkan kehidupan yang layak—ini soal krisis kemanusiaan yang sejak 1945 semakin mencapai titik puncak akumulasi.

Masih ingat Malala Yousafzai, remaja Pakistan pemenang Nobel yang ditembak Taliban tahun 2012, usai berkampanye hak-hak perempuan untuk bisa bersekolah? Kisah Malala dipaparkan dalam buku berjudul Good Night Stories for Rebel Girls: Dongeng Pengantar Tidur bagi Para Gadis Pemberontak. Pada situasi yang dilanda krisis kemanusiaan sikap memberontak menjadi satu-satunya kenekadan.

Persoalannya adalah apakah krisis kemanusiaan itu hanya melanda 20 juta orang terancam kelaparan dan kekurangan pangan yang ekstrem di Yaman, Somalia, Sudan Selatan, dan Nigeria. Apakah krisis kemanusiaan itu hanya menjerat wilayah konflik peperangan saja? Apakah krisis kemanusiaan itu baru benar-benar disadari ketika 1,4 juta anak-anak berpotensi mati kelaparan tahun ini?

Ataukah krisis kemanusiaan itu—dengan potensi ancaman yang jika tidak diselesaikan akan menjadi malapetaka—merupakan akumulasi rangkaian sebab akibat yang nyaris tidak kita sadari? Apakah radar kepekaan kita sebagai manusia yang beradab telah mati, sehingga aksi #skipchallange misalnya, hanya dipandang sebagai permainan yang membahayakan, bukan terutama disebabkan oleh produk dari krisis kemanusiaan yang terjadi pada lingkup kesadaran yang lebih mendasar dan subtansial?

Lebih spesifik lagi, ada apa dengan pendidikan kita? Ada apa dengan kurikulum pendidikan kita? Ada apa dengan sekolah-sekolah yang kita banggakan itu? Ada apa dengan para guru yang kita anugerahi jubah pahlawan tanpa tanda jasa? Ada apa dengan cara berpikir kita?

Memberontak dengan Cara Berpikir yang Adil

Deretan pertanyaan itu bisa sangat panjang. Namun “satu pemberontakan” yang perlu kita mulai adalah biarkan anak-anak menemukan dan menjadi diri mereka sendiri.

Adalah Robyn Silverman, seorang ahli perkembangan anak di New Jersey, setiap malam membacakan cerita pengantar tidur bagi anak-anaknya. Silverman menuliskan pesan khusus untuk Tallie (8 tahun) di buku berjudul Princess Smartypants karangan Babette Cole itu dan menyemangatinya untuk selalu bangkit.

“Tallie, gadis manisku—mereka mungkin menghalangi jalanmu—mereka mungkin menyuruhmu untuk duduk atau diam. Tapi ingatlah selalu untuk bangkit. Lantangkan suaramu dan tetap teguh!”

Anak-anak perlu dibiasakan berpikir secara adil—bukan hanya adil dalam perspektif hukum atau gender, tetapi adil menurut perspektif kemanusiaan. Adapun keadilan itu bisa diberangkatkan dari wilayah hukum, pendidikan, politik, ekonomi atau gender. Namun produk akhirnya adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.

Jadi, biarkan anak-anak menemukan dan menjadi diri mereka sendiri maksudnya adalah biarkan mereka menemukan kontinuasi sejarah hidupnya, kontinuasi perjalanan bangsanya, kontinuasi cakrawala masa depannya, dengan berbekal keadilan berpikir terhadap sesama manusia. Hingga pada momentum tertentu anak-anak akan melakukan pemberontakan sesuai skala prioritas dan komitmen perjuangan ketika menyaksikan ketidakadilan di depan mata mereka.

Pendidikan yang (Belum) Adil dan Beradab

Persoalannya adalah pendidikan kita justru melakukan tindakan sebaliknya—anak-anak itu dididik agar menjadi generasi penurut, generasi sendhiko dawuh, generasi anut grubyuk terhadap berbagai kenyataan yang justru merampas harkat dan martabat kemanusiaan.

Ironisnya, sekolah menjadi salah satu ladang yang berisi praktek dehumanisasi terhadap siswa, dengan berbagai talbis yang digagah-gagahkan, dicitra-citrakan, dihias-hias seolah-olah memang demikian pendidikan yang ideal itu. Bukankah ini termasuk ketidakadilan yang menikam martabat kemanusiaan para siswa?

Ketidakadilan itu dapat dicermati dari terminologi kata per kata yang kerap dipakai oleh dunia pendidikan. Sebut saja misalnya penggunaan kata guru dan murid, yang mengalami evolusi menjadi guru dan siswa, guru dan peserta didik, tenaga pendidik dan peserta didik.

Silang sengkarut akar kata dan makna denotasi yang mempertemukan antara kata “guru” (bahasa sansekerta) dengan “murid” (bahasa arab) menunjukkan kesembrononan membangun paradigma pendidikan. Kata bukan sekadar kata—ia mengandung muatan denotasi, filosofi, sejarah, peradaban, proyeksi masa depan. Tidak heran apabila pendidikan kita selalu umek dan terus menerus mengalami kisruh karena tidak terjadi kontinuasi sejarah.

Pendidikan kita menghasilkan generasi manuk emprit—padahal DNA kita adalah burung garuda. Pendidikan yang melanggar potensi DNA generasi bangsa yang ontentik itu apakah bukan pelanggaran terhadap substansi kemanusiaan?

Yang kita perjuangankan selain laki-laki dan perempuan itu setara, laki-laki dan perempuan itu manusia yang harus diperlakukan secara bermartabat. Sudahkan pendidikan kita melakukannya? []

jagalan 12.03.17

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun