Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mencuri Kok Senyum?

9 Maret 2017   23:19 Diperbarui: 11 Maret 2017   06:00 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://zonabaca.blogspot.co.id

Senyum adalah sedekah, demikian nasehat yang sering kita dengar. Orang Jawa menyebut blater—orang yang murah senyum, wajahnya sumringah, suka menyapa orang lain. Perilaku satu ini tidak bisa diseting atau dikerjakan dengan kepura-puraan. Mungkin sekali dua kali berhasil pura-pura blater, namun senyum yang tulus akan menjadi kebiasaan dan menempel kuat sebagai personal branding ketika diberangkatkan dari hati yang terang dan bersih.

Yang hatinya diliputi pamrih dan disesaki oleh kepentingan biasanya cepat merasa capek menebar senyum. Wajah yang angker, masam, dan bibir terkatup sinis akan kembali merias di wajah.

Komunkasi Nonverbal Warga Desa

Di pelosok-pelosok kampung Jawa senyuman adalah perilaku nonverbal yang cukup ampuh untuk mempertahankan paseduluran dan melanggengkan kerukunan. Yang terbiasa memasang wajah sinis dan sok wibawa sama sekali tidak direkomendasikan hidup di tengah perkampungan desa yang salah satu pilar komunikasi nonverbal adalah murah senyum.

Adalah Shohibul Izar, sahabat saya, tinggal di dusun Bajulmati pesisr laut selatan kabupaten Malang. Setiap kali melintasi jalan desa bibirnya selalu menyapa warga—mulai anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, mbah-mbah, sambil menebar senyum. Duduk di boncengan motor yang melintas jalanan terjal desa, saya geleng-geleng kepala, menyaksikan adegan sapa menyapa sepanjang perjalanan itu.

Saya ikut terbawa oleh adegan itu, dan pesan sahabat saya terngiang di telinga. “Bertemu siapa saja di desa ini walaupun tidak kenal, ojo nganti gak nyopo (jangan sampai tidak menyapa)!”

Saya pun mengerjakan saran itu. Menyapa seseorang ternyata bukan sekadar berkata: “Monggo, Mas. Monggo, Bu. Badhe ten kebon, Mbah? (Mau pergi ke kebun, Mbah?)—sapaan itu secara alamiah memerlukan senyuman yang tulus.

Ajaib memang dan setelah berkali-kali datang ke dusun itu, sebagian dari warga dusun sudah mengetahui nama saya—padahal saya belum memperkenalkan diri, apalagi mengenal nama mereka satu persatu.

Bagi yang terbiasa hidup di kota besar, kebiasaan menyapa dan tersenyum itu terasa musykil kalau tidak ingin disebut aneh. Menginap beberapa hari di Jakarta saya tidak berani melakukan hal yang sama dengan di Bajulmati. Ajer blater pada pergaulan sosial di kota metropolitan mungkin berlaku pada skala yang terbatas. Terlalu ramah pada orang yang belum dikenal gampang mengundang curiga.

Perbedaan nuansa psikologi komunikasi itu wajar. Budaya desa dan budaya metropolitan memiliki bentuk perilaku sosial yang berbeda. Hidup di desa bergelimang senyum dan sapa—perilaku nonverbal dan persepsi sosial yang tidak selalu dianggap wajar oleh kaum urban di kota.

Jadi, tersenyumlah selama senyuman itu memiliki alasan dan dianggap wajar. Di Norwegia, ketika orang asing tersenyum kepada warga setempat, maka warga akan menganggapnya gila. Ternyata senyuman tidak selalu dipersepsi baik. Perbedaan persepsi senyuman bukan karena faktor geografi atau ekonomi, melainkan faktor budaya.

Senyum Seorang Koruptor

Memakai baju tahanan dari KPK, di depan ratusan kamera wartawan, seorang koruptor tersenyum. Terdapat berlapis-lapisan persepsi terhadap senyuman seorang koruptor. Namun, hanya satu yang tersisa dari senyuman itu: dia manusia. Justru karena koruptor itu manusia, hati nurani kita pun terkoyak—manusia kok mencuri.

Ketika seorang koruptor menebar senyum, kita justru menangisi senyuman itu, bukan terutama trilunan uang negara rakus digarong dan kita tidak kecipratan uang itu, melainkan kita ditikam kesedihan mendalam karena rasa kemanusiaan kita menjerit.

Untuk sekadar tersenyum kita tidak memerlukan dalil, ayat, quote tentang manfaat senyuman. Demikian pula untuk tidak mencuri, tidak ngutil, tidak korupsi kita tidak membutuhkan sejumlah ayat tentang dosa dan neraka. Bukan berarti ayat dan dalil keharaman mencuri tidak penting. Tanpa harus mengetahui ayat yang menjelasakan dosa perbuatan mencuri—hati nurani, roso kemanusiaan kita pasti sudah menyalakan lampu peringatan bahwa mencuri itu buruk.

Hati nurani dan roso atas suatu perbuatan sesungguhnya telah terinstal secara laten dalam diri setiap manusia. Bahkan secara praksis hukum, agar tidak meludahi wajah orang lain, tidak menampar istri, tidak memaki, tidak membunuh, atau tidak melakukan pekerjaan sejenis mo-limo (madon, madat, main, maling, mateni)—manusia tidak memerlukan pasal-pasal hukuman, denda, penjara. Suara hati nurani akan menjerit-jerti, memberi peringatan, ketika kita akan menggarong uang rakyat. Jeritan suara hati nurani yang memberontak itu menandakan kita bukan tikus.

Kendati ada persepsi umum bahwa orang yang tersenyum lebih jujur ketimbang yang tidak tersenyum, budaya itu semakin terkikis oleh perilaku koruptif para wakil rakyat dan pejabat. Kian besar tingkat korupsi, kian turun kepercayaan terhadap orang yang tersenyum, ungkap Kuba Krys, ahli psikologi dari Polish Academy of Sciences di Polandia, yang meneliti senyuman individu yang dihubungkan dengan persepsi kejujuran dan kecerdasan.

Jadi, apa persepsi Anda terhadap senyuman seorang koruptor? []

jagalan 09.03.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun