Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mencuri Kok Senyum?

9 Maret 2017   23:19 Diperbarui: 11 Maret 2017   06:00 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://zonabaca.blogspot.co.id

Senyum Seorang Koruptor

Memakai baju tahanan dari KPK, di depan ratusan kamera wartawan, seorang koruptor tersenyum. Terdapat berlapis-lapisan persepsi terhadap senyuman seorang koruptor. Namun, hanya satu yang tersisa dari senyuman itu: dia manusia. Justru karena koruptor itu manusia, hati nurani kita pun terkoyak—manusia kok mencuri.

Ketika seorang koruptor menebar senyum, kita justru menangisi senyuman itu, bukan terutama trilunan uang negara rakus digarong dan kita tidak kecipratan uang itu, melainkan kita ditikam kesedihan mendalam karena rasa kemanusiaan kita menjerit.

Untuk sekadar tersenyum kita tidak memerlukan dalil, ayat, quote tentang manfaat senyuman. Demikian pula untuk tidak mencuri, tidak ngutil, tidak korupsi kita tidak membutuhkan sejumlah ayat tentang dosa dan neraka. Bukan berarti ayat dan dalil keharaman mencuri tidak penting. Tanpa harus mengetahui ayat yang menjelasakan dosa perbuatan mencuri—hati nurani, roso kemanusiaan kita pasti sudah menyalakan lampu peringatan bahwa mencuri itu buruk.

Hati nurani dan roso atas suatu perbuatan sesungguhnya telah terinstal secara laten dalam diri setiap manusia. Bahkan secara praksis hukum, agar tidak meludahi wajah orang lain, tidak menampar istri, tidak memaki, tidak membunuh, atau tidak melakukan pekerjaan sejenis mo-limo (madon, madat, main, maling, mateni)—manusia tidak memerlukan pasal-pasal hukuman, denda, penjara. Suara hati nurani akan menjerit-jerti, memberi peringatan, ketika kita akan menggarong uang rakyat. Jeritan suara hati nurani yang memberontak itu menandakan kita bukan tikus.

Kendati ada persepsi umum bahwa orang yang tersenyum lebih jujur ketimbang yang tidak tersenyum, budaya itu semakin terkikis oleh perilaku koruptif para wakil rakyat dan pejabat. Kian besar tingkat korupsi, kian turun kepercayaan terhadap orang yang tersenyum, ungkap Kuba Krys, ahli psikologi dari Polish Academy of Sciences di Polandia, yang meneliti senyuman individu yang dihubungkan dengan persepsi kejujuran dan kecerdasan.

Jadi, apa persepsi Anda terhadap senyuman seorang koruptor? []

jagalan 09.03.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun