Bumi dan jagad raya disimbolkan sosok perempuan atau sosok ibu. Persuami istrian itu terjalin juga antara manusia dan bumi.
Bumi tempat anak-anak hidup, tanah tempat anak-anak menapakkan kaki, udara yang mereka hirup, air yang mereka minum, makanan yang mereka makan—ibarat air susu ibu, dihasilkan oleh perempuan yang setiap saat mengalami kekejaman.
Tanah kelahiran ini dinamakan ibu pertiwi berkat kemuliaan hidup seorang perempuan, berkat kemuliaan hati seorang ibu, namun kita tega berbuat kejam padanya. Bumi—ibu kita bersama, sedang sekarat. Diperas air susunya, dan anak-anak itu, para balita itu bergelimpangan, satu persatu mati, karena bumi, ibu mereka juga sedang menanti ajal.
Memperingati hari perempuan sedunia tidak sekadar menggugat, mengkritisi, memprihatini nasib, memproyeksikan masa depan perempuan, yang diberangkatkan dan diorientasikan sebatas perspektif gender keperempuanan belaka. Beragam kasus yang menimpa perempuan pada frekuensi, intensitas, bobot luka hidup, sesungguhnya tidak bisa dilokalisir sebagai persoalan perempuan dan laki-laki.
Atau dalam konteks yang lebih luas dan hakiki, kerusakan lingkungan dan tingginya polusi tidak bisa dipersempit manusia (pihak laki-laki) menindas bumi (pihak perempuan).
Perempuan yang ditindas dan bumi yang diperas merupakan persoalan kemanusiaan dan keserakahan. Penindasan kepada perempuan, apapun motif dan tujuannya, atau eksploitasi terhadap lingkungan, apapun proyeksi masa depannya—semua itu merupakan pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan itu sendiri.
Maka, kita perlu berpikir ulang: yang sedang menimpa kaum perempuan itu kekerasan ataukah kekejaman? Disiplin harus dibangun dengan sikap yang keras terhadap diri sendiri. Menegakkan peraturan dalam konteks kebutuhan tertentu membutuhkan sikap yang keras. Untuk memecah batu kita memerlukan alat pemukul yang keras. Namun, sikap keras itu tidak boleh diikuti oleh perilaku yang kejam, baik kepada diri sendiri apalagi kepada orang lain.
Semoga kita sepakat, yang menimpa kaum perempuan adalah kekejaman—kekejaman fisik, kekejaman emosi, kekejaman harga diri. Kekerasan dan kekejaman yang ditempatkan tidak pada maqam pengertian, konteks kejadian, ruang lingkup persoalan menghasilkan perilaku dan kebijakan yang diselimuti oleh kabut konotatif alias kabur.
Perilaku manusia yang mengeksploitasi isi perut bumi dan mengabaikan keseimbangan lingkungan termasuk kekejaman terhadap “perempuan”.
Masih ada waktu untuk berbenah dan memperbaiki diri, sebelum kita dan anak cucu kita kualat karena bersikap kejam terhadap kaum perempuan dan sewenang-wenang kepada kesabaran bumi.[]
jagalan 08.03.17