Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sampai Kapan Kita Berbuat Kejam kepada Bumi dan Perempuan?

9 Maret 2017   01:12 Diperbarui: 10 Maret 2017   04:00 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asap kok menikam? Bukan dilihat dari kelembutannya yang ringan diterbangkan angin, tapi serangan asap bisa langsung menuju pusat organ manusia, yaitu paru-paru—dan itu serangan bisa mematikan.

Kemudian sang asap berkata, “Apa salahku sehingga manusia memusuhiku? Setiap kebijakan publik selalu menempatkan aku sebagai tersangka atas 80% orang yang terpajan polusi udara di kota-kota besar!”

Sebagaimana api, air, udara, angin, tanah yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan, asap merupakan akibat logis dari perilaku manusia yang gemar membakar apa saja. Jangankan asap—bahkan kepada air kita kerap merasa jengkel, sehingga ketika air menggenangi jalanan hingga kedalaman satu meter, kita menggerutu, mengumpat, mengutuknya. Orang bertanya, misalnya, “Rumahnya banjir mas?” adalah pertanyaan yang mengejek.

Peradaban Asap

Kita ini aneh kalau tidak mau dibilang irasional. Rangkaian cara berpikir kita putus-putus, sepenggal-sepenggal, tersekat-sekat. Kasus banjir yang rutin menyambangi permukiman dilihat sebagai murni perilaku air menggenang. Hanya itu dan berhenti di situ. Padahal, air sedang menjalani peraturan atau sunnatullah yang diamanahkan Tuhan. Dalam konteks ini cara berpikir kita buntu dan hanya mengutuki keadaan karena hasrat egoisme kita dihambat oleh kenyataan yang bernama banjir.

Kita memang berpikir ke depan, namun tidak secara mendasar untuk menanggulangi banjir dan menyelamatkan genersi berikutnya. Berpikir ke depan itu untuk mengatasi masalah-masalah praktis terkait kepentingan yang pragmatis dan materialis.

Demikian pula dengan problematika asap yang mengepung—kita rajin mengukur indeks kualitas udara, dan di saat yang sama kita semprotkan asap melalui knalpot motor dan mobil demi memuaskan kebiasaan manja sebagai manusia kota. Peradaban kita adalah peradaban asap. Siapa jadi tumbal?

WHO melansir laporan tentang bahaya lingkungan bagi balita. Setiap tahun polusi lingkungan membunuh sekitar 1,7 juta anak di seluruh dunia. Infeksi pernapasan, diare, malaria, dan cedera yang disebabkan lingkungan adalah beberapa penyebab kematian balita. Namun, angka tertinggi dari penyebab kematian tersebut adalah infeksi pernafasan akut atau pneumonia—jumlahnya mencapai 570.000 balita.

Jenderal WHO, Margaret Chan, menyampaikan peringatan, balita paling berisiko meninggal akibat lingkungan tercemar karena perkembangan organ tubuh, saluran pernafasan dan tubuh yang masih rentan.

Dapatkan kita membayangkan masa depan 300 juta anak yang hidup di kawasan yang polusi udaranya sangat ekstrim—asap beracun menyesaki udara lebih dari enam kali pedoman internasional? Bagaimana masa depan dua miliar anak-anak di dunia—hampir 90 persen—tinggal di tempat yang polusi udara luar ruangan melebihi batas yang ditentukan Badan Kesehatan Dunia?

Perempuan dan Bumi yang Sama-sama Menderita

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun