Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Persamaan Antara: Selera Kuliner, "Upgrade HP" dan Timbunan Sampah

6 Maret 2017   23:43 Diperbarui: 8 Maret 2017   02:00 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: elshinta.com

Siapa tidak ingin hidup sejahtera. Bekerja siang malam—kepala jadi kaki, kaki jadi kepala—menggambarkan kerja keras demi meraih hidup yang lebih sejahtera. Indikator kesejahteraan itu secara sederhana diajukan melalui pertanyaan: hari ini apa bisa makan, hari ini makan apa, hari ini makan siapa?

Manusia—makhluk omnivora menimbun makanan bukan di tembolok layaknya burung. Tragis dan ironis, timbunan makanan itu ditampung oleh plastik besar. Bermacam makanan dan masakan dijadikan satu dan kita menyebutnya makanan sisa. Sungguh, betapa sejahtera kehidupan kita sehingga makanan pun tersisa sedemikian banyak—setiap orang, setiap rombongan makan, setiap rumah makan dan restoran mengekspresikan perilaku sejahtera yang nyaris sama: membuang makanan.

Paradoks Kesejahteraan

Dengan gerakan tangan yang cukup ringan, seorang pelayan rumah makan memindahkan makanan di atas piring—yang mungkin cukup untuk dimakan tiga atau empat orang itu—ke dalam plastik besar, tembolok yang berisi sisa makanan. Tidak terbayang wajah 28 juta warga Indonesia yang hidup dalam kemiskinan (Data BPS 2015) dan 19, 4 juta jiwa merana dengan gizi buruk.

Ah, mereka itu kaum pemalas. Gayanya saja miskin, berumah di gubuk darurat, susah diatur dan keras kepala, hidup berdesakan di bantaran sungai—tapi hitunglah berapa uang yang mereka belikan rokok setiap hari!

Bukan dunia kalau tidak dihiasi oleh drama paradoksal. Friends of Earth (FOE) pada Januari 2016 merilis, dalam satu tahun produksi sampah makanan di dunia mencapai 1,3 miliar ton. Di tengah gelombang pengungsi yang terusir dari tanah kelahiran, di tengah pelecehan harkat kemanusiaan di kamp-kamp pengungsian—sisa makanan yang berton-ton itu menegaskan eksistensalisme kesejahteraan sekaligus mengabarkan arogansi sopo siro sopo ingsun.

Kok arogansi? Ya, arogansi itu dipanglimai oleh selera kuliner yang bermarkas di lidah. Adagium sopo siro sopo ingsun itu kalau diterjemahkan ke dalam terminologi lidah adalah selera lidahku pasti tidak sama dengan selera lidahmu. Bagiku lidahku, bagimu lidahmu. Tidak ada hujjah antara lidahku dan lidahmu.

Ketika empat orang berkumpul, memesan masakan dan minuman di rumah makan, maka sedikitnya ada empat selera lidah dengan ragam dan varian selera masing-masing yang nyaris tanpa batas. Lidah adalah cakrawala selera, dunia tanpa tepi, imajinasi tanpa bentuk, lukisan abstrak sarat subjektivisme.

Lidah tidak mengenal takaran, proporsi dan volume. Ideologinya cuma satu: memuaskan selera kuliner. Tidak heran, satu orang bisa memesan berjenis-jenis makanan tanpa rasionalitas dan pertimbangan apakah volume perutnya sanggup menampung semua makanan itu.

Setiap tahun sepertiga makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia di dunia berakhir menjadi sampah, atau jumlahnya 1,3 miliar ton. Ini termasuk 45% dari buah dan sayuran, 35% dari makanan laut, 30% dari sereal, 20% dari produk susu, dan 20% dari daging, demikian data dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.

Data adalah data, fakta adalah fakta. Seni kuliner menantang pejuang penguak kenikmatan hidup untuk menyingkap setiap misteri dan rahasia, menyelami setiap detail dimensi rasa gurih, manis, asin, dan getaran aroma; mengekspresikan kenikmatan lidah dengan satu ungkapan: “Kelezatannya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Silahkan Anda mencoba dan merasakannya sendiri!”

Menabung Limbah Menabung Sampah

Seni kuliner berkolaborasi dengan kecanggihan dan kecepatan arus informasi teknologi. Jagad media sosial bukan hanya ramai oleh hoax—foto ritual kuliner pun tampil dengan berbagai gaya dan ekspresi. Para penikmat kuliner mengabadikan kefanaan makanan sebelum akhirnya lenyap ke dalam perut.

Setali tiga uang: makanan menyisakan limbah makanan, alat elektronik menyisakan limbah elektronik. Keduanya disebut sampah—diksi kebudayaan yang indikator utamanya adalah tersisa dan dibuang. Manusia menabung limbah, manusia menabung sampah.

The World Count mencatat, sejak umat manusia memulai tahun 2017 hingga 6 Maret, sebanyak 7 juta ton limbah elektronik sudah dihasilkan. Menurut data yang dilansir Electronics TakeBack Coalition, setiap tahun diperkirakan 20 juta hingga 50 juta metrik ton limbah elektronik dibuang di seluruh dunia.

Makanan dan barang elektronik memiliki “usia” yang cukup pendek. Makanan melewati lidah hanya beberapa menit sebelum ditelan. Pertaruhan rasa dan fanatisme kuliner berdurasi sekian menit saja. Demikian pula dengan siklus barang elektronik—dilaporkan usia rata-rata masa pakai telepon pintar di Amerika Serikat adalah 26 bulan.  

Usia yang cukup singkat namun memiliki durasi yang sangat panjang bagi perjalanan limbah agar bisa ditelan bumi secara normal. “Konsumen didorong untuk meng-upgrade model ponselnya terus-menerus sehingga rata-rata ponsel hanya digunakan dua tahun lebih. Imbasnya, bumi menjadi rusak,” kata juru kampanye Korporasi Senior Greenpeace Elizabeth Jardim.

Bangkitnya industri teknologi informasi dan industri kuliner berbanding lurus dengan padatan persoalan yang kita ciptakan sendiri. Situasi panik massal: tumpukan masalah sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, agama, krisis personalitas dan martabat kemanusiaan dan sejumlah akumulasi persoalan terminologi berpikir yang tidak nyambung, menemukan ruang ujaran di media sosial dan pelampiasan di warung makan.

Semoga asumsi itu tidak benar, tapi kalau hati sedang sumpek, paling enak adalah nyampah di media sosial atau makan sebanyak-banyaknya. []

jagalan 06.03.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun