Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Iklan Kerukunan Agama di Tengah Cara Berpikir Model Hoax

5 Maret 2017   13:45 Diperbarui: 5 Maret 2017   13:59 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, hidup tidak selalu berjalan sesuai tafsir. Tataran keilmuan (tafsir) harus ditransformasi ke dalam laku. Ngelmu iku kelakone nganti laku, kata orang Jawa. Pada tataran laku ini kita kedodoran. Apa pasal? Karena di tengah khazanah perbedaan tafsir itu kita berdiri di sudut kebenaran yang kita yakini sebagai satu-satunya kebanaran dan kebenaran hanya satu, seraya memandang mereka yang berdiri di sudut-sudut yang lain adalah kesalahan.

Hoax—pada satu sisi, secara material, adalah kabar bohong. Namun, secara substantif hoax adalah produk pikiran yang “tersesat” dan disesatkan oleh kaca mata kuda, sehingga yang tersisal tinggal satu kemungkinan: yang bukan kita pasti salah. Hoax adalah buah pemikiran yang diberangkatkan dari sudut tafsir tertentu seraya menghabisi, menyalahkan, memberangus, mempolitisasi, menghakimi lawan yang berdiri di sudut sebelah sana.  

Kekerasan antar pemeluk agama, demikian kita sering menyebut—walaupun sejatinya hal itu adalah pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan, juga intoleransi, terorisme, radikalisme, semua itu merupakan produk dari cara berpikir model hoax. Ngelmu yang mengabaikan kontekstualitas rasa kemanusiaan.

Karena itu, selain tetap mengkaji tafsir, kita memerlukan tadabur—jembatan yang menghubungkan antara ngelmu dan laku. Tadabur adalah upaya internalisasi nilai-nilai keilmuan untuk kita tampilkan dalam perilaku yang adil dan beradab. Produk tadabur adalah perilaku yang ngajeni.  

Berapapun jumlah rakaat salat malam yang dikerjakan, apabila perilaku kita masih korup, kerap menyakiti rasa kemanusiaan sesama, suka mbesengut alias mahal senyuman—tadabur kita bisa dikatakan gagal. Tidak ada lagi kesalehan individual dan kesalehan sosial. Ini juga salah satu produk dari cara berpikir hoax yang mengelabuhi.

Konteks Literasi Agama

Maka, literasi agama bukan sekadar mengajarkan teks ajaran kitab suci. Kembali merujuk pada “Overcoming Religious Illiteracy: A Cultural Studies Approach”, Diane L. More mendefinisikan literasi agama sebagai kemampuan untuk melihat dan menganalisis titik temu antara agama dan kehidupan sosial, politik, dan budaya dari beragam sudut pandang.

 Mereka yang melek agama akan memiliki pemahaman dasar mengenai sejarah, teks-teks sentral, kepercayaan, serta praktik tradisi keagamaan yang lahir dalam konteks sosial, historis, dan budaya tertentu.

Menggerakkan hulu-hilir literasi agama tidak cukup diberangkatkan dari materialisme tekstual. Ibadah mahdloh dan ibadah muamalah ditempatkan pada ruang lingkup dan konteks yang tepat. Persahabatan Imam Zubair Hassam dan pendeta Gary Bradley merefleksikan muatan literasi agama yang tepat. []

jagalan 05.03.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun