Imam Zubair Hassam, seorang kepala sekolah di Sekolah Muslim di Leicester, menerima banjir simpati. Pasalnya, dalam iklan yang mempromosikan kerukunan antar agama jarang menggunakan sosok imam. Hassam tampil pada iklan Amazon Prime bersama pendeta Gary Bradley. Pada iklan tersebut, seorang pendeta membuka pintu rumahnya saat teman baiknya, seorang imam, datang bertamu. Dua pria tua tersebut bercakap-cakap, bercanda dan tertawa, serta minum teh bersama.
Keduanya terlihat meringis menahan ngilu saat mereka duduk dan berdiri. Setelah imam berpamitan pulang, mereka mengeluarkan telepon genggam mereka, menekan tombol aplikasi Amazon, dan membeli sesuatu. Mereka saling membelikan pelindung lutut dan menggunakannya saat bersembahyang di tempat peribadatan mereka masing-masing.
"Ini adalah hal yang saya lakukan di komunitas, saya tidak berakting, saya hanya menjadi diri saya sendiri. Dengan banyaknya berita buruk (intoleransi antar agama) yang ada, ini adalah iklan yang benar-benar positif yang menunjukkan orang-orang yang berbeda keyakinan bisa tetap berhubungan baik," kata Hassam.
Iklan Kemanusiaan
Tidak ada yang istimewa pada iklan tersebut kecuali ide brilian Amazon yang menampilkan sosok imam dan pendeta. Islam yang dikenal garang oleh dunia barat ditampilkan secara manusiawi melalui sosok Hassam. Dua pemeluk agama yang berbeda, berinteraksi sebagai manusia—bukan terutama menonjolkan dan mengatasnamakan keyakinan.
Hassam dan Bradley tidak berdebat—mereka tertawa dan bercanda, serta minum teh bersama. Keakraban yang melukiskan mereka tidak sedang bersitegang membela keyakinan masing-masing. Iklan Amazon Prime lebih dari sekadar mempromosikan kerukanan antar agama. Iklan itu menitipkan pesan kemanusiaan.
Bukan tanpa diskusi sangat panjang, Amazon berkonsultasi dengan Gereja Inggris, Dewan Muslim Inggris Raya, dan Forum Islam Kristen. "Kami tak ingin membuat kesalahan karena kami sadar bahwa tema besar iklan ini sebenarnya sangat sensitif," kata direktur iklan Amazon, Simon Morris.
Benar, sangat sensitif, dan sensitivitas kita tentang tema keagamaan mengalahkan sensivitas kemanusiaan itu sendiri. Kita terlalu baper dengan diskursus publik terkait tema-tema khilafiyah. Kita terjebak pada objektivitas tafsir—membenarkan tafsir versi kita dan menyalahkan tafsir versi bukan kita. Saling membenarkan dan menyalahkan versi tafsir itu, kerap tidak disadari, menggerus sensitivitas rasa kemanusiaan.
Pengetahuan kita tinggal satu: yang pasti benar adalah kita. Yang bukan kita, pasti salah, meskipun di lubuk hati kecil ada kans 1% yang bukan kita itu punya kemungkinan untuk benar. Yang pasti benar meskipun bukan kita adalah yang membayar kita, ungkap Cak Nun dalam Pandawayudha.
Tafsir dan Ngelmu Kelakone Nganti Laku
Tidak ada yang salah dengan tafsir, mengingat setiap orang, setiap institusi, setiap lembaga, setiap madzhab memiliki versi tafsir yang pasti bereda. Klaim kebenaran tafsir bisa dibenarkan sepanjang memenuhi kaidah dan ubo rampe kajian ilmiah keilmuan.
Namun, hidup tidak selalu berjalan sesuai tafsir. Tataran keilmuan (tafsir) harus ditransformasi ke dalam laku. Ngelmu iku kelakone nganti laku, kata orang Jawa. Pada tataran laku ini kita kedodoran. Apa pasal? Karena di tengah khazanah perbedaan tafsir itu kita berdiri di sudut kebenaran yang kita yakini sebagai satu-satunya kebanaran dan kebenaran hanya satu, seraya memandang mereka yang berdiri di sudut-sudut yang lain adalah kesalahan.
Hoax—pada satu sisi, secara material, adalah kabar bohong. Namun, secara substantif hoax adalah produk pikiran yang “tersesat” dan disesatkan oleh kaca mata kuda, sehingga yang tersisal tinggal satu kemungkinan: yang bukan kita pasti salah. Hoax adalah buah pemikiran yang diberangkatkan dari sudut tafsir tertentu seraya menghabisi, menyalahkan, memberangus, mempolitisasi, menghakimi lawan yang berdiri di sudut sebelah sana.
Kekerasan antar pemeluk agama, demikian kita sering menyebut—walaupun sejatinya hal itu adalah pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan, juga intoleransi, terorisme, radikalisme, semua itu merupakan produk dari cara berpikir model hoax. Ngelmu yang mengabaikan kontekstualitas rasa kemanusiaan.
Karena itu, selain tetap mengkaji tafsir, kita memerlukan tadabur—jembatan yang menghubungkan antara ngelmu dan laku. Tadabur adalah upaya internalisasi nilai-nilai keilmuan untuk kita tampilkan dalam perilaku yang adil dan beradab. Produk tadabur adalah perilaku yang ngajeni.
Berapapun jumlah rakaat salat malam yang dikerjakan, apabila perilaku kita masih korup, kerap menyakiti rasa kemanusiaan sesama, suka mbesengut alias mahal senyuman—tadabur kita bisa dikatakan gagal. Tidak ada lagi kesalehan individual dan kesalehan sosial. Ini juga salah satu produk dari cara berpikir hoax yang mengelabuhi.
Konteks Literasi Agama
Maka, literasi agama bukan sekadar mengajarkan teks ajaran kitab suci. Kembali merujuk pada “Overcoming Religious Illiteracy: A Cultural Studies Approach”, Diane L. More mendefinisikan literasi agama sebagai kemampuan untuk melihat dan menganalisis titik temu antara agama dan kehidupan sosial, politik, dan budaya dari beragam sudut pandang.
Mereka yang melek agama akan memiliki pemahaman dasar mengenai sejarah, teks-teks sentral, kepercayaan, serta praktik tradisi keagamaan yang lahir dalam konteks sosial, historis, dan budaya tertentu.
Menggerakkan hulu-hilir literasi agama tidak cukup diberangkatkan dari materialisme tekstual. Ibadah mahdloh dan ibadah muamalah ditempatkan pada ruang lingkup dan konteks yang tepat. Persahabatan Imam Zubair Hassam dan pendeta Gary Bradley merefleksikan muatan literasi agama yang tepat. []
jagalan 05.03.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H