Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Seks Klasik dan Qurrotul 'Uyun yang Selalu Ditunggu

27 Februari 2017   13:28 Diperbarui: 7 Juli 2020   21:36 30864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Jika engkau sudah selesai melakukannya, maka lakukanlah hal yang menyenangkan perasaannya sebagai tanda kasih sayang. Maka bermain-mainlah ketika kamu selesai bersetubuh dengan istrimu.” kutip Muhlis Hadrawi dalam Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis.

Serat Centhini, yang nama aslinya adalah Suluk Tembangraras, mendendangkan tema seks yang diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus. Pengertian, sifat, kedudukan, fungsi, etika tata cara bermain seks dan gaya persetubuhan ditampilkan secara terbuka.

Gamblang sudah. Aktivitas jima’ bukan sekadar aktivitas biologis yang berkutat pada teknis, daya tahan dan demi pemenuhan nafsu belaka. Pendidikan seks klasik sarat dengan nilai pendidikan dan sikap kasih sayang. Bahkan setelah menikah aktivitas jima’ tidak dilakukan sembarangan. Belum dijumpai naskah kuno Islam yang mengajarkan jima’ pranikah.

Qurrotul ‘Uyun: Pendidikan Seks di Pesantren

Itulah sebab kitab Qurrotul ‘Uyun, kitab tentang risalah pernikahan dan adab melakukan jima’, diajarkan kepada santri di kelas akhir madrasah diniyah. Santri yang belum “cukup umur” belum diperkenankan untuk mengikuti ngaji kitab ini. Mereka harus mengkaji kitab-kitab dasar aqidah-tauhid, fiqih, nahwu-shorof (tata bahasa Arab) sesuai tahapan dan kurikulum pakem khas pesantren. Hingga pada waktu yang tepat mereka akan belajar kitab yang kajiannya selalu ditunggu-tunggu itu.

Pendidikan seks di pesantren selalu terkait dengan hulu dan hilir ilmu itu sendiri. Ada yang lebih penting untuk dipelajari sebelum ngaji adab dan tata cara berjima’. Bab aqidah (iman), thaharah (bersuci), dan fiqih muamalah merupakan rangkaian pembelajaran yang wajib dipahami dan diamalkan. Bersuci dari hadast kecil dan hadast besar, mensucikan najis, periodisasi haidl (menstruasi), nifas dan istihadloh menjadi salah satu pondasi bagi bangunan ilmu dan kehidupan rumah tangga yang kelak akan dibangun.

Mempelajari “bab pondasi” seperti itu tidak bisa dijujug, dan tentu saja membutuhkan bimbingan seorang guru atau kyai.

Masih terekam sangat kuat di benak saya suasana ngaji kitab Qurrotul Uyun saat di pesantren. Diselingi guyonan segar—pesantren adalah gudang guyonan segar—santri memahami detail-detail pembahasan tentang hukum nikah, rukun nikah, keutamaan menafkahi keluarga, waktu yang tepat berbulan madu hingga tata krama dan posisi saat berjima’.

Tabu? Tidak—karena pendidikan seks di pesantren dibingkai oleh terminologi keilmuan yang jelas dan adab belajar yang cukup kental. []  

jagalan 27.02.17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun