Membicarakan pendidikan seks serasa tak ada habisnya. Bukan hanya menuai pro dan kontra—pendidikan seks selalu dihadapkan pada pertanyaan krusial: kapan waktu yang tepat dan bagaimana cara menyampaikannya?
Menjelaskan tema seputar seks bagi masyarakat berbudaya timur kadang tidak segamblang menanamkan pengertian, misalnya tentang adab dan sopan santun atau sejumlah mata pelajaran umum seperti matematika, biologi atau fisika. Rasa tabu dan sikap pakewuh kerap menyertai suasana pembahasan tentang seks.
Padahal di tengah kemudahan mengakses informasi dan teknologi, “fakta” terkait seks juga semakin mudah untuk “di-klik”. Informasi yang dirasa tabu saat diajarkan secara dialogis, tertutup dan ewuh-pakewuh, berkat kecanggihan teknologi, menjadi mudah diakses cukup menggunakan jari.
Anak-anak, remaja atau bahkan siapapun menjadi pembelajar otodidak. Tutorial seks yang disajikan secara interaktif dalam bentuk audio visual lebih menarik dibandingkan pembelajaran seks secara formal yang dibungkus sikap malu-malu.
Membaca dan memahami seks dari mesin teknologi memang gampang, praktis dan menarik—pagar ewuh pakewuh pun roboh. Namun, hal itu bukan berarti tanpa resiko. Seks yang dipahami sekadar urusan organ biologis dan teknis bercinta akan kehilangan martabatnya—seks menjadi aktivitas yang bebas nilai.
Apabila seks adalah “makhluk” yang bebas nilai—dan memang ini yang dikehendaki—tak perlu pusing kita berpikir tentang pendidikan seks. Biarkan saja anak-anak dan remaja berburu informasi seputar seks, toh yang penting mereka memiliki pengetahuan tentang seks walaupun tidak dijamin pengetahuan itu akan berbuah menjadi ilmu.
Pendidikan Seks Klasik
Pendidikan seks bukan terutama tentang seks itu sendiri. Hal itu dapat dilacak dari naskah kuno nenek moyang bangsa Nusantara. Adalah Abu Muhammad Adnan alias Raja Abdullah, putra Raja Ali Haji dari Riau penulis naskah Cempaka Putih. Kitab yang dirampungkan akhir abad 19 itu membabar bagaimana melakukan jima’ (berhubungan seks) secara halal menurut Islam. Bukan hanya berisi doa sebelum melakukan jima’—Cempaka Putih yang dijuluki beberapa kalangan sebagai Kamasutra Melayu, dilengkapi ilustrasi lelaki dan perempuan yang berhubungan intim.
Tak mau kalah dengan sang suami, Khatijah Terung, istri Raja Abdullah menulis naskah Kumpulan Gunawan. “Tutorial” ini seakan meneguhkan di atas ranjang istri tidak boleh kalah bertanding dengan suami.
Berbeda dengan tutorial ala audio visual yang disokong kemajuan teknologi, Cempaka Putih, Kumpulan Gunawan, Assilakabineng (Bugis) dan Serat Centhini (Jawa) tidak sekadar mengajarkan teknik ampuh menggapai puncak kenikmatan. Naskah kuno itu dimuati oleh nilai pendidikan, adab, etika dan sikap menghargai pasangan hidup.
Assikalaibineng menggambarkan vagina dan kelentit sebagai empat pintu. “Sangat jarang yang mengetahui keempat pintu ini. Jika kita mau menyentuhnya, tekanlah dengan telunjuk, kamu akan menemukan benda menyerupai biji. Jika kamu menyentuh itu akan membuat gemetar tubuh perempuan.”
“Jika engkau sudah selesai melakukannya, maka lakukanlah hal yang menyenangkan perasaannya sebagai tanda kasih sayang. Maka bermain-mainlah ketika kamu selesai bersetubuh dengan istrimu.” kutip Muhlis Hadrawi dalam Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis.
Serat Centhini, yang nama aslinya adalah Suluk Tembangraras, mendendangkan tema seks yang diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus. Pengertian, sifat, kedudukan, fungsi, etika tata cara bermain seks dan gaya persetubuhan ditampilkan secara terbuka.
Gamblang sudah. Aktivitas jima’ bukan sekadar aktivitas biologis yang berkutat pada teknis, daya tahan dan demi pemenuhan nafsu belaka. Pendidikan seks klasik sarat dengan nilai pendidikan dan sikap kasih sayang. Bahkan setelah menikah aktivitas jima’ tidak dilakukan sembarangan. Belum dijumpai naskah kuno Islam yang mengajarkan jima’ pranikah.
Qurrotul ‘Uyun: Pendidikan Seks di Pesantren
Itulah sebab kitab Qurrotul ‘Uyun, kitab tentang risalah pernikahan dan adab melakukan jima’, diajarkan kepada santri di kelas akhir madrasah diniyah. Santri yang belum “cukup umur” belum diperkenankan untuk mengikuti ngaji kitab ini. Mereka harus mengkaji kitab-kitab dasar aqidah-tauhid, fiqih, nahwu-shorof (tata bahasa Arab) sesuai tahapan dan kurikulum pakem khas pesantren. Hingga pada waktu yang tepat mereka akan belajar kitab yang kajiannya selalu ditunggu-tunggu itu.
Pendidikan seks di pesantren selalu terkait dengan hulu dan hilir ilmu itu sendiri. Ada yang lebih penting untuk dipelajari sebelum ngaji adab dan tata cara berjima’. Bab aqidah (iman), thaharah (bersuci), dan fiqih muamalah merupakan rangkaian pembelajaran yang wajib dipahami dan diamalkan. Bersuci dari hadast kecil dan hadast besar, mensucikan najis, periodisasi haidl (menstruasi), nifas dan istihadloh menjadi salah satu pondasi bagi bangunan ilmu dan kehidupan rumah tangga yang kelak akan dibangun.
Mempelajari “bab pondasi” seperti itu tidak bisa dijujug, dan tentu saja membutuhkan bimbingan seorang guru atau kyai.
Masih terekam sangat kuat di benak saya suasana ngaji kitab Qurrotul Uyun saat di pesantren. Diselingi guyonan segar—pesantren adalah gudang guyonan segar—santri memahami detail-detail pembahasan tentang hukum nikah, rukun nikah, keutamaan menafkahi keluarga, waktu yang tepat berbulan madu hingga tata krama dan posisi saat berjima’.
Tabu? Tidak—karena pendidikan seks di pesantren dibingkai oleh terminologi keilmuan yang jelas dan adab belajar yang cukup kental. []
jagalan 27.02.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H