Kisah Taufiq Hidayat, anggota tanggap bencana Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang menyelamatkan Rizki, bayi enam bulan di kawasan Cipinang Melayu, Jakarta Timur, beberapa hari lalu, menunjukkan masih ada manusia baik di sekitar kita.
Berawal dari laporan ibu-ibu ada bayi di dalam rumah nggak bisa keluar, Taufiq mencari sumber suara tangisan bayi. Arus air sangat deras. Perahu karet tidak bisa masuk ke gang sempit. Dibantu teman-temannya, dengan menggunakan tali tambang dan berjalan pelan, Rizki menyisiri tebok perumahan.
Suara tangisan bayi berasal dari rumah lantai dua. Tangga yang dinaiki Taufiq ambrol. Benar, ada seorang bayi bersama ibunya dan seorang perempuan lanjut usia. Setelah menemukan ember besar, Taufiq membawa Rizki keluar.
Kisah Taufiq dan aksi kemanusiaannya itu mengingatkan saya pada kejadian puluhan tahun lalu saat desa saya menjadi langganan banjir. Sungai di sebelah barat rumah, berbatasan langsung dengan Pabrik Gula Jombang Baru, selalu rajin meluapkan air hingga memasuki rumah warga. Setiap musim hujan tiba kepekaan “radar banjir” saya makin terasah—dan itu berlangsung sampai sekarang.
Tahun 1991, waktu itu mungkin Jakarta belum akrab dengan banjir, air setinggi 1,5 – 2 meter merendam rumah warga. Ibu dan seorang adik saya yang masih bayi mengungsi. Tiga hari tiga malam bersama adik nomor dua dan Bapak, kami menjadi Deni Si Manusia Ikan, hidup di tengah kepungan air yang tidak kunjung surut. Pengalaman yang tak pernah terlupakan—saat musibah datang rasa peduli dan sikap berbagi sesama tetangga terjalin secara alami.
Albania: Selamat Datang Pengungsi
Tidak seorangpun dalam hidupnya bercita-cita menjadi pengungsi. Namun, bencana dan peperangan memaksa tidak sedikit saudara kita harus meninggalkan tanah kelahiran mereka, hidup sebagai pengungsi. Kemanakah mereka mengungsi?
Demi menghindari kematian dan kehancuran yang diakibatkan oleh tentara militer Serbia di tahun 1990 an, lebih dari 500.000 pengungsi, terutama dari etnik Albania, meninggalkan Kosovo untuk mencari tempat perlindungan di Albania selama dua tahun. Mengapa Albania dan ada dengan Albania?
Albania mengajarkan kepada kita tentang keramahan—keramahan kepada para pengungsi saat mereka ditolak di hampir seluruh perbatasan dunia.
"Ada kamp-kamp pengungsi yang didirikan untuk penduduk Kosovo di seluruh negeri. Keluarga-keluarga Albania akan pergi ke satu kamp, menemukan satu keluarga dan diundang ke tempat mereka. Mereka bukan sanak saudara atau teman, mereka orang asing, tetapi orang-orang Albania akan membawa para pengungsi itu pulang, memberikan makanan, baju, dan memperlakukan mereka seperti anggota keluarga sendiri," ungkap Nevila Muka.
Itulah cara Albania. Mereka menyebut besa: semacam kewajiban bagi orang-orang Albania, terkait dengan kepercayaan, keyakinan atau iman, yang menjadi pilar keramahan yang tulus.
Besa merupakan tradisi dengan muatan nilai-nilai yang diturunkan sejak berabad-abad yang lalu. Shpija para se me qenë e Shqiptarit, asht e Zotit dhe e mikut, yang artinya “Sebelum sebuah rumah menjadi milik sang pemilik, awalnya rumah itu dimiliki oleh Tuhan dan para tamu.”
Sebuah gambaran yang indah tentang besa terungkap: jika Anda seorang pelancong atau mencari tempat berlindung, Anda dapat mengetuk pintu rumah pertama yang Anda temui dan bertanya kepada pemilik rumah, “Apakah Anda menginginkan tamu?”—si pemilik rumah akan mengajak Anda masuk. Besa mengajarkan, tuan rumah harus selalu memiliki ruangan khusus atau tempat tidur cadangan yang siap kapan saja, siang maupun malam, untuk berjaga-jaga jika ada tamu yang datang tiba-tiba.
Beda cara Albania memuliakan tamu, beda pula cara di Sri Lanka. "Ada pepatah di Sri Lanka, bahwa ke mana pun Anda pergi di pulau ini, jika membutuhkan sesuatu Anda akan selalu menemukan rekan dari Matara dan mereka pasti akan senang untuk membantu," kata Supun Budhajeewa, dari Matara.
Mau makan gratis? Kalau di Trenggalek Jawa Timur kita bisa menikmati lontong ketupat gratis saat Hari Raya Ketupat, tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri, di Sri Lanka sering diselenggarakan dansel (kios-kios makan gratis) di acara khusus seperti hari-hari Poya, liburan-liburan nasional selama bulan purnama. Shramadhanas, atau menyumbangkan tenaga kerja untuk membersihkan jalan umum, jadi relawan di rumah sakit kerap berlangsung pada hari libur.
Banjir di Jakarta juga di beberapa kota yang lain di Indonesia, selain menjadi pekerjaan rumah dan harus terus berbenah dan membenahi tata kota yang ramah pada air, telah membuka mata kita bahwa masih ada manusia baik seperti Taufik Hidayat dan para relawan di sekitar kita.
Sampah dan Kesenjangan Multidimensi
Persoalan yang sebenarnya justru pada kesadaran memelihara keseimbangan lingkungan. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta pada 2011 pernah merilis jumlah sampah di DKI Jakarta mencapai 7.500 ton—lebih dari 54 persen atau sekitar 4.050 ton adalah sampah makanan. Lebih miris lagi, sampah makanan itu bukan hanya berupa makanan yang tersisa, tetapi juga sisa sampah makanan saat proses produksi.
Penyumbang sampah terbesar berasal dari rumah tangga. Dinas Kebersihan DKI pada 2011 mencatat keseluruhan sampah itu 65 persen dari perumahan.
Apakah kehidupan kita sudah sedemikian makmur sehingga makanan pun tersisa dan menjadi sampah? Apakah kita memasak atau membeli makanan hanya untuk dibuang? Kenyataan ini sungguh paradoks dengan laporan yang diterbtkan oleh Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD). Orang terkaya di Indonesia dalam waktu satu hari dapat meraup bunga dari kekayaannya lebih dari seribu kali lipat jumlah pengeluaran rakyat termiskin di Indonesia untuk kebutuhan dasar mereka selama setahun penuh.
Terdapat kesenjangan yang sangat lebar antar orang super kaya dengan kelompok masyarakat dimana jerat kemiskinan masih menjadi ancaman yang serius. "Indonesia menghadapi tantangan ketimpangan yang multidimensi. Namun, Presiden Joko Widodo memiliki kesempatan untuk membuktikan Indonesia dapat menjadi negara yang memimpin perjuangan global melawan ketimpangan," kata Steve Price Thomas, Direktur Advokasi dan Kampanye Oxfam lntenasional.
Kendati banjir dan ketimpangan mutidimensi menjadi ancaman yang serius di tengah perubahan iklim dan kapitalisme global, kehadiran manusia-manusia yang baik, peduli dan rela berbagi di sekitar kita menumbuhkan optimisme bersama. Lalu, mengapa kita merusaknya dengan berbagai model politisasi yang menceraiberaikan? []
jagalan 23.02.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H