Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masih Ada Kok Manusia Baik di Sekitar Kita

23 Februari 2017   21:54 Diperbarui: 25 Februari 2017   18:00 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://kriminalitas.com

Besa merupakan tradisi dengan muatan nilai-nilai yang diturunkan sejak berabad-abad yang lalu. Shpija para se me qenë e Shqiptarit, asht e Zotit dhe e mikut, yang artinya “Sebelum sebuah rumah menjadi milik sang pemilik, awalnya rumah itu dimiliki oleh Tuhan dan para tamu.”

Sebuah gambaran yang indah tentang besa terungkap: jika Anda seorang pelancong atau mencari tempat berlindung, Anda dapat mengetuk pintu rumah pertama yang Anda temui dan bertanya kepada pemilik rumah, “Apakah Anda menginginkan tamu?”—si pemilik rumah akan mengajak Anda masuk. Besa mengajarkan, tuan rumah harus selalu memiliki ruangan khusus atau tempat tidur cadangan yang siap kapan saja, siang maupun malam, untuk berjaga-jaga jika ada tamu yang datang tiba-tiba.

Beda cara Albania memuliakan tamu, beda pula cara di Sri Lanka. "Ada pepatah di Sri Lanka, bahwa ke mana pun Anda pergi di pulau ini, jika membutuhkan sesuatu Anda akan selalu menemukan rekan dari Matara dan mereka pasti akan senang untuk membantu," kata Supun Budhajeewa, dari Matara.

Mau makan gratis? Kalau di Trenggalek Jawa Timur kita bisa menikmati lontong ketupat gratis saat Hari Raya Ketupat, tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri, di Sri Lanka sering diselenggarakan dansel (kios-kios makan gratis) di acara khusus seperti hari-hari Poya, liburan-liburan nasional selama bulan purnama. Shramadhanas, atau menyumbangkan tenaga kerja untuk membersihkan jalan umum, jadi relawan di rumah sakit kerap berlangsung pada hari libur.

Banjir di Jakarta juga di beberapa kota yang lain di Indonesia, selain menjadi pekerjaan rumah dan harus terus berbenah dan membenahi tata kota yang ramah pada air, telah membuka mata kita bahwa masih ada manusia baik seperti Taufik Hidayat dan para relawan di sekitar kita.

Sampah dan Kesenjangan Multidimensi

Persoalan yang sebenarnya justru pada kesadaran memelihara keseimbangan lingkungan. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta pada 2011 pernah merilis jumlah sampah di DKI Jakarta mencapai 7.500 ton—lebih dari 54 persen atau sekitar 4.050 ton adalah sampah makanan. Lebih miris lagi, sampah makanan itu bukan hanya berupa makanan yang tersisa, tetapi juga sisa sampah makanan saat proses produksi.

Penyumbang sampah terbesar berasal dari rumah tangga. Dinas Kebersihan DKI pada 2011 mencatat keseluruhan sampah itu 65 persen dari perumahan.

Apakah kehidupan kita sudah sedemikian makmur sehingga makanan pun tersisa dan menjadi sampah? Apakah kita memasak atau membeli makanan hanya untuk dibuang? Kenyataan ini sungguh paradoks dengan laporan yang diterbtkan oleh Oxfam dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD). Orang terkaya di Indonesia dalam waktu satu hari dapat meraup bunga dari kekayaannya lebih dari seribu kali lipat jumlah pengeluaran rakyat termiskin di Indonesia untuk kebutuhan dasar mereka selama setahun penuh.

Terdapat kesenjangan yang sangat lebar antar orang super kaya dengan kelompok masyarakat dimana jerat kemiskinan masih menjadi ancaman yang serius. "Indonesia menghadapi tantangan ketimpangan yang multidimensi. Namun, Presiden Joko Widodo memiliki kesempatan untuk membuktikan Indonesia dapat menjadi negara yang memimpin perjuangan global melawan ketimpangan," kata Steve Price Thomas, Direktur Advokasi dan Kampanye Oxfam lntenasional.

Kendati banjir dan ketimpangan mutidimensi menjadi ancaman yang serius di tengah perubahan iklim dan kapitalisme global, kehadiran manusia-manusia yang baik, peduli dan rela berbagi di sekitar kita menumbuhkan optimisme bersama. Lalu, mengapa kita merusaknya dengan berbagai model politisasi yang menceraiberaikan? []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun