Hasil riset Deloitte menggambarkan, tak ada yang lebih dipedulikan dan dianggap tantangan bagi masa depan kaum milenial di negara berkembang, termasuk Indonesia, selain isu klasik: kejahatan dan korupsi. Perbandingan prosentasenya dengan negara maju 58 persen berbanding 36 persen.
Mereka yang hidup di tengah “kesengsaraan” khas negara berkembang justru memiliki keterkarikan terhadap isu jaminan kesehatan, kelaparan, dan kesenjangan pendapatan (50%), lebih tinggi dibanding anak muda negara maju (43%). Lebih spesifik lagi hal ini menjadi sinyal sekaligus harapan bahwa generasi milenial Indonesia memiliki komitmen untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang berkeadilan sosial.
Sekilas melihat optimisme generasi milenial Indonesia menghadapi bonus demografi, tidak sepatutnya bagi “generasi tua” hanya mempersiapkan dan berhitung sisi keuntungan ekonomi saja. Bias konfirmasi materialisme itu justru kontra produktif dengan cita-cita, aspirasi dan visi masa depan generasi milenial.
Menciptakan conditioning iklim dan cuaca kehidupan berbangsa yang kondusif, meminimalisir kegaduhan politik, dan yang tak kalah penting menata keseimbangan berpikir merupakan benih pepohonan untuk merindangi masa depan.
Semoga optimisme ini tidak berlebihan, sebab melihat masa depan Indonesia tidak bisa menggunakan blindspot atau bidang kosong dalam imajinasi kita yang terlanjur menganga lebar. Bidang kosong dalam imajnasi itu, kini, sedang diisi oleh anak-anak muda, generasi milenial Indonesia. []
jagalan 14.02.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H