Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Baper, Sensivitas, dan Manfaat Menangis

5 Februari 2017   18:56 Diperbarui: 6 Februari 2017   15:04 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://artimimpi.web.id

Mengapa sejak ada media sosial kita jadi mudah baper? Perilaku saling lapor itu sebenarnya didorong oleh kebutuhan apa? Ataukah perasaan kita sudah terlalu sensitif saat diperlakukan kurang nyaman oleh orang lain? Deretan pertanyaan itu mengemuka saat seorang kawan pagi-pagi bertamu ke rumah. Saya jadi gelagapan. Kopi panas di depan saya terasa makin pahit saja.

Usai kawan saya pulang setelah menumpahkan uneg-uneg dan keluh kesahnya, giliran saya termangu sendiri. Pertanyaan itu tidak mau pergi—malah berputar-putar di atas kepala. Kenapa saya jadi kepikiran ya?

Berbeda pendapat itu wajar. Berselisih argumen itu lumrah. Namun, tidak setiap orang siap apalagi rela melapangkan dadanya untuk menampung perbedaan. Biasanya setiap pihak akan bersiteguh menggenggam pendapatnya sendiri. Ini pun tidak menjadi persoalan selama pihak yang berselisih memiliki kesadaran bahwa perbedaan pendapat itu dibatasi oleh konteks ruang dan waktu.

Saya teringat kisah dua manusia hebat, Kyai Wahab Hasbullah pendiri Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas dan Kyai Bisri Sansuri, pendiri Pondok Pesantren Mamba'ul Ma’arif Denanyar Jombang. Bukan rahasia lagi, Mbah Wahab dan Mbah Bisri kerap berbeda pendapat dalam masalah hukum Islam. Saking kerasnya adu argumen tidak jarang Mbah Wahab atau Mbah Bisri menggebrak meja.

Kalau mendengar adzan beliau berdua akan berhenti berdebat, berjalan bersama menuju masjid. Ah, indahnya. Mbah Wahab dan Mbah Bisri tidak baper karena bisa meletakkan konteks persoalan dan perbedaan pada tempatnya. Dari teladan para tokoh sesepuh inilah warga Nahdliyin tidak mudah terprovokasi oleh perbedaan.

Baper—sebagaimana tangis, kerap diidentikkan dengan keadaan emosi seseorang yang lemah. Orang yang mudah baper atau menangis adalah orang yang emosinya tidak stabil atau labil. Naluri feminitas dituding sebagai salah satu penyebab seseorang gampang melibatkan perasaannya.

Tudingan itu tidak sepenuhnya benar karena seorang laki-laki dengan naluri maskulinitasnya tidak jarang terbawa oleh baper dan pada kondisi tertentu juga meneteskan air mata.

Baper yang Dikonotasikan Negatif

Akhirnya, baper dan sensivitas menerima konotasi yang negatif—cengeng, lemah mental, mudah goyah, kurang tangguh. Seorang laki-laki yang menangis dinilai bukan lelaki yang tangguh. Seorang perempuan yang meneteskan air mata dianggap wajar sebagai makhluk yang lemah. Menangis menjadi pilihan ekspresi yang serba salah dan patut dihindari. Hingga pada situasi tertentu menangis adalah mengalirnya air mata buaya.

Jika memang demikian konotasi yang ditimpakan pada tangis, mengapa Tuhan memberi air mata pada manusia? Konon, Nabi Adam dan Ibu Hawa menangis hingga air matanya menganak sungai.

Dalam hal ini bahasa Jawa memiliki ungkapan yang unik. Nangis (tangis) itu baik. Yang tidak baik adalah nangisan (gampang menangis). Ngantuk (mengantuk) itu baik. Yang tidak baik adalah ngantukan (sering dan gampang mengantuk). Ngentut (kentut) itu baik. Yang tidak baik adalah ngentutan (sering kentut). Ada pula nasehat: iso rumongso, ojo rumongso iso. Jadilah orang yang bisa merasakan. Jangan menjadi orang yang merasa bisa. 

Nangis (menangis), ngentut (kentut), ngantuk (kantuk), rumongso (merasakan perasaan)—semua adalah aktivitas alamiah yang sudah diinstal Tuhan dalam diri setiap manusia. Saya tidak bisa membayangkan jika Tuhan menarik nikmat ngantuk itu. Di tengah naik motor seseorang mendadak tidur tanpa diberi peringatan oleh rasa ngantuk.

Maka, bawa-bawa perasaan itu tidak selalu identik dengan lemah mental apalagi dikonotasikan negatif. Hingga hari ini saya tidak pernah membaca berita penemuan bayi yang dibuang. Perbuatan manusia si raja tega itu selalu membuat saya baper. Tidak tatag—bahkan sekadar membaca judul beritanya.   

Persoalannya adalah baper yang sekarang sedang ngetrend itu tidak untuk mengempati, membangun sikap toleransi, memahami perasaan sesama, melainkan ditujukan untuk dan kepada diri sendiri. Baper ala media sosial adalah ekspresi mempertahankan egoisme benere dhewe. Pengguna medsos akan gampang sakit hati dan tersakiti karena tidak semua peristiwa, argumen, pendapat sesuai dengan harapannya.

Sangat naif dan lucu bahkan, setiap realitas harus sesuai dengan isi kepala. Kalau tidak sesuai langsung baper. Apa akibatnya? Sedikit-sedikit baper, sedikit-sedikit baper. Baper kok sedikit!

Terdapat miliaran warna di alam semesta dengan kemungkinan jumlah yang tak terbatas. Baperwan cukup menggunakan dua warna: hitam dan putih. “Kalau saya menyimpulkan ini hitam, pokoknya semua harus menyatakan ini hitam! Kalau saya menyimpulkan ini putih, pokoknya semua harus menyatakan ini putih! Yang masih berpikir tentang putih, awas, akan saya hitamkan. Yang masih berpikir tentang hitam, awas, akan saya putihkan!”

Mengelola Baper dan Sensivitas

Bagaimana baper harus dikelola? Baper yang positif akan menjalin perasaan empatik untuk dan kepada sesama. Gamblangnya, orang yang saya ludahi pasti sakit perasaannya. Maka, saya tidak akan meludahi orang lain, karena saya tidak ingin sakit hati dan diludahi siapapun. Tidak meludahi orang lain karena kita membawa perasaan untuk digunakan sawang-sinawang akan menjadkan kita tidak mudah menyakiti perasaan sesama.

Memiliki perasaan yang sensitif tidak selalu buruk dan merugikan. Perasaan sensitif kepada orang lain dalam kadar dan porsi yang tepat akan bermanfaat untuk membangun sikap empati dan toleran. Memahami orang lain, menangkap nuansa kondisi di sekitar, memutuskan sikap yang dilandasi sawang-sinawang di tengah bebrayan memerlukan sensivitas yang tinggi.

Bukan hanya itu. Sensisvitas juga diperlukan untuk mengapresiasi orang lain secara jujur dan wajar. Sikap toleran juga terkait dengan tingkat sensivitas seseorang.

“Sensitivitas yang tinggi memampukan seseorang menjadi kuat, bertumbuh, bahkan ketika tengah dirundung kemalangan,” kata Deborah Ward, penulis buku Overcoming Low Self-Esteem with Mindfulness.

Tidak ada yang salah dengan sensivitas dan menangis selama keduanya menghasilkan output sikap yang positif dan bermanfaat bagi diri dan orang lain. Jadi, kapan terakhir Anda menangis? Para penelitian akur menyatakan bahwa menangis akan membersihkan tubuh seseorang dari hormon stres. Suasana hati terasa lega dan membaik setelah kita menumpahkan air mata.

“Saya menyarankan pasien untuk menangis karena hal ini meluruhkan energi negatif dan tergantikan oleh energi positif. Menangis itu normal dan tak perlu merasa malu memperlihatkannya,” saran psikoterapis Sharon Marti.

Apabila ingin meningkatkan “maqam” derajat kemanusiaan, kita bahkan tidak sekadar menangis—kita perlu menangisi. Apa beda menangis dan menangisi? Menangis cenderung dipicu oleh faktor tekanan dari dalam diri: kalut, bingung, stres, sedih, atau bahagia yang sangat.

Menangisi dipicu oleh faktor “keprihatinan” yang kita rasakan di luar diri. Kita menangisi orang yang tega membuang bayi. Kita menangisi para pengungsi banjir bandang akibat keserakahan manusia menjarah hutan. Kita menangisi martabat kemanusiaan yang digerus oleh ambisi kekuasan. Kita menangisi ruang privasi yang semakin sempit di tengah teknologi yang semakin canggih. Kita menangisi bangsa Nusantara yang tak kunjung sadar dan mengenal dirinya. Menangisi merupakan pilihan sekaligus komitmen pribadi yang peduli dengan keadaan di sekitar kita lalu berperan memberi solusi sesuai kemampuan.

Di tengah keadaan yang membuat kita menangisi semua itu, dan ternyata hanya kebaikan-kebaikan dalam skala kecil yang dapat kita lakukan—tetap berjuang dan berbagi adalah sebentuk anugerah dan kekuatan dari Tuhan.

Menjeritlah selagi bisa / menangislah jika itu dianggap penyelesaian, teriak Iwan Fals dalam Nyanyian Jiwa. Hingga hari ini kita semakin memerlukan baper, sensivitas, menangis dan menangisi. []

jagalan 05.01.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun