Nangis (menangis), ngentut (kentut), ngantuk (kantuk), rumongso (merasakan perasaan)—semua adalah aktivitas alamiah yang sudah diinstal Tuhan dalam diri setiap manusia. Saya tidak bisa membayangkan jika Tuhan menarik nikmat ngantuk itu. Di tengah naik motor seseorang mendadak tidur tanpa diberi peringatan oleh rasa ngantuk.
Maka, bawa-bawa perasaan itu tidak selalu identik dengan lemah mental apalagi dikonotasikan negatif. Hingga hari ini saya tidak pernah membaca berita penemuan bayi yang dibuang. Perbuatan manusia si raja tega itu selalu membuat saya baper. Tidak tatag—bahkan sekadar membaca judul beritanya.
Persoalannya adalah baper yang sekarang sedang ngetrend itu tidak untuk mengempati, membangun sikap toleransi, memahami perasaan sesama, melainkan ditujukan untuk dan kepada diri sendiri. Baper ala media sosial adalah ekspresi mempertahankan egoisme benere dhewe. Pengguna medsos akan gampang sakit hati dan tersakiti karena tidak semua peristiwa, argumen, pendapat sesuai dengan harapannya.
Sangat naif dan lucu bahkan, setiap realitas harus sesuai dengan isi kepala. Kalau tidak sesuai langsung baper. Apa akibatnya? Sedikit-sedikit baper, sedikit-sedikit baper. Baper kok sedikit!
Terdapat miliaran warna di alam semesta dengan kemungkinan jumlah yang tak terbatas. Baperwan cukup menggunakan dua warna: hitam dan putih. “Kalau saya menyimpulkan ini hitam, pokoknya semua harus menyatakan ini hitam! Kalau saya menyimpulkan ini putih, pokoknya semua harus menyatakan ini putih! Yang masih berpikir tentang putih, awas, akan saya hitamkan. Yang masih berpikir tentang hitam, awas, akan saya putihkan!”
Mengelola Baper dan Sensivitas
Bagaimana baper harus dikelola? Baper yang positif akan menjalin perasaan empatik untuk dan kepada sesama. Gamblangnya, orang yang saya ludahi pasti sakit perasaannya. Maka, saya tidak akan meludahi orang lain, karena saya tidak ingin sakit hati dan diludahi siapapun. Tidak meludahi orang lain karena kita membawa perasaan untuk digunakan sawang-sinawang akan menjadkan kita tidak mudah menyakiti perasaan sesama.
Memiliki perasaan yang sensitif tidak selalu buruk dan merugikan. Perasaan sensitif kepada orang lain dalam kadar dan porsi yang tepat akan bermanfaat untuk membangun sikap empati dan toleran. Memahami orang lain, menangkap nuansa kondisi di sekitar, memutuskan sikap yang dilandasi sawang-sinawang di tengah bebrayan memerlukan sensivitas yang tinggi.
Bukan hanya itu. Sensisvitas juga diperlukan untuk mengapresiasi orang lain secara jujur dan wajar. Sikap toleran juga terkait dengan tingkat sensivitas seseorang.
“Sensitivitas yang tinggi memampukan seseorang menjadi kuat, bertumbuh, bahkan ketika tengah dirundung kemalangan,” kata Deborah Ward, penulis buku Overcoming Low Self-Esteem with Mindfulness.
Tidak ada yang salah dengan sensivitas dan menangis selama keduanya menghasilkan output sikap yang positif dan bermanfaat bagi diri dan orang lain. Jadi, kapan terakhir Anda menangis? Para penelitian akur menyatakan bahwa menangis akan membersihkan tubuh seseorang dari hormon stres. Suasana hati terasa lega dan membaik setelah kita menumpahkan air mata.