“Saya menyarankan pasien untuk menangis karena hal ini meluruhkan energi negatif dan tergantikan oleh energi positif. Menangis itu normal dan tak perlu merasa malu memperlihatkannya,” saran psikoterapis Sharon Marti.
Apabila ingin meningkatkan “maqam” derajat kemanusiaan, kita bahkan tidak sekadar menangis—kita perlu menangisi. Apa beda menangis dan menangisi? Menangis cenderung dipicu oleh faktor tekanan dari dalam diri: kalut, bingung, stres, sedih, atau bahagia yang sangat.
Menangisi dipicu oleh faktor “keprihatinan” yang kita rasakan di luar diri. Kita menangisi orang yang tega membuang bayi. Kita menangisi para pengungsi banjir bandang akibat keserakahan manusia menjarah hutan. Kita menangisi martabat kemanusiaan yang digerus oleh ambisi kekuasan. Kita menangisi ruang privasi yang semakin sempit di tengah teknologi yang semakin canggih. Kita menangisi bangsa Nusantara yang tak kunjung sadar dan mengenal dirinya. Menangisi merupakan pilihan sekaligus komitmen pribadi yang peduli dengan keadaan di sekitar kita lalu berperan memberi solusi sesuai kemampuan.
Di tengah keadaan yang membuat kita menangisi semua itu, dan ternyata hanya kebaikan-kebaikan dalam skala kecil yang dapat kita lakukan—tetap berjuang dan berbagi adalah sebentuk anugerah dan kekuatan dari Tuhan.
Menjeritlah selagi bisa / menangislah jika itu dianggap penyelesaian, teriak Iwan Fals dalam Nyanyian Jiwa. Hingga hari ini kita semakin memerlukan baper, sensivitas, menangis dan menangisi. []
jagalan 05.01.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H