Apabila semua itu benar terjadi, sesungguhnya kita sedang menabung sedikitnya dua permasalahan. Pertama, kita sedang menyalahi sifat hakiki kemanusiaan. Polarisasi, situasi pro dan kontra, kebenaran melawan kebenaran sedang memperagakan kesalahan hakiki itu—100 persen benar itu adalah kami dan 100 persen salah itu adalah mereka. Atau dalam lingkup personal, 100 persen benar itu adalah aku dan 100 persen salah itu adalah dia. Kita berada sangat jauh dari wilayah kedewasaan berpikir.
Saran dari Mbah Markesot adalah meskipun pahit dan tidak nyaman, tapi yang sekarang perlu dilakukan memang bukan mendiskusikan “siapa yang salah”, melainkan duduk bersama untuk secara jernih untuk menemukan “apa yang salah”.
Kedua, kita sedang menyalahi kenyataan keragaman yang menjadi sunnatullah kehidupan. Keyakinan bahwa 100 persen benar itu adalah aku atau kami pada dasarnya merupakan klaim subjektif, yang kalau diungkapkan secara gamblang merupakan ajakan supaya dia atau mereka yang salah 100 persen itu mau bergabung bersama aku atau kami. Setiap individu, pihak, kelompok dan golongan memiliki satu kesanggupan saja, yakni hidup dalam alam homogenitas kebenaran yang diyakininya. Yang berbeda dengan aku atau kami menjadi ancaman.
Warna-warni kehidupan, bermacam suku dan golongan, aneka tradisi dan budaya, mozaik pemikiran dalam situasi viral tak kasat mata, saat kebenaran melawan kebenaran, bukan merupakan anugerah. Viral tak kasat mata itu mengurung pelakunya dalam tempurung kebenaran yang sempit dan gelap.
Dua tabungan yang bermasalah itu apakah akan kita wariskan pada anak cucu? []
jagalan 200117
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H