Apa judul tulisan ini tidak salah? Semoga tidak karena hari ini kita sedang menyaksikan kebenaran melawan kebenaran—tanpa tanda petik di setiap kata. Bahkan kita bisa menambahkan situasi perlawanan itu, misalnya kebaikan melawan kebaikan, kejujuran melawan kejujuran, ketulusan melawan ketulusan, keyakinan melawan keyakinan. Silahkan Anda menambahkan sendiri seribu sifat baik manusia melawan seribu sifat baik manusia.
Peta perlawanan itu saking canggihnya bukan lagi putih melawan hitam atau ke-ma’ruf-an melawa ke-munkar-an. Pihak yang saling berhadapan itu menyodorkan kebenaranversi masing-masing. Bagaimana ini bisa terjadi?
Kita sebut saja beberapa nama seperti Buni Yani, Basuki Tjahaja Purnama, Novel Chaidir Hasan, Rizieq Syihab. Nama-nama ini melakukan aksi saling lapor atas perkara yang sudah kita ketahui bersama. Pelapor dan terlapor memiliki keyakinan atas kebenaran dari sisi mereka. Pelapor adalah pihak terlapor yang meyakini muatan kebenaran ada di pihaknya dan kesalahan ada di pihak lawan. Demikian seterusnya—mubeng muter seperti lingkaran setan tanpa ujung dan pangkal.
Saya tidak sedang secara khusus menyorot saling lapor ini dalam situasi menjelang pilkada DKI. Kita sudah sering menyaksikan situasi mubeng muter itu. Namun, sampai kapan bangsa ini terkurung oleh situasi adu kebenaran dan saling menuding siapa yang salah? Sampai kapan kita dijebak oleh subjektivisme kebenaran yang kita ciptakan sendiri sehingga kita selalu memetik “buah” pro dan kontra? Sampai kapan kita mengakui sifat “kanak-kanak” ini kalau sudah pro pada “pihak A” maka otomatis kontra pada “pihak B”? Sebaliknya, kalau pro “pihak B” pasti kontra dengan “pihak A”?
Sifat kanak-kanak mem-pro-kontra-kan yang dibangun secara subjektif itu bukan hanya terjadi pada skala yang luas dan melibatkan hajat hidup orang banyak. Dalam situasi pergaulan sehari-hari, atau di lingkungan organisasi kecil, “vibrasi pertengkaran nasional” itu menetes juga pada skala hubungan antar individu. Sekadar berbeda pendapat dengan pimpinan (yang bukan pemimpin) akan sangat mudah dituduh melancarkan “makar”, merebut kekuasaan, menanam pengaruh, menjalankan agenda penghancuran dari dalam dan sejumlah kecurigaan seorang pimpinan yang hanya pantas dilakukan oleh kanak-kanak.
Polarisasi Sopo Siro Sopo Ingsun
Kebenaran melawan kebenaran sedang menjadi viral tak kasat mata. Viral mental yang tanpa kita sadari telah menguasai alur berpikir, sikap berpikir, cara berpikir hingga menjadi “nyawa” setiap keputusan dan perilaku. Orang sedang sangat ingin berkuasa dan melanggengkan kekuasaannya—mulai skala lokal paguyuban penggemar bakso hingga skala nasional bahkan internasional—sehingga yang tercipta adalah polarisasi demi polarisasi.
Viral tak kasat mata itu bukan menimpa mereka yang bertarung di kancah politik saja—institusi yang terjebak oleh nafsu pragmatisme, dan cukup ironis ketika hal itu juga terjadi pada pendidikan, mengalami polarisasi kepentingan dan berakhir pada muara yang sama: nafsu mengeruk kekayaan dan berkuasa.
Polarisasi itu pasti menciptakan kegaduhan. Pro dan kontra adalah ekspresi kasat mata atas viral tak kasat mata. Bagi pihak yang sedang berkuasa polarisasi itu akan dikelola, misalnya dengan menyusun strategi sistematis untuk menaklukkan lawan dengan goal yang tidak terbaca sebagai penaklukkan.
Padahal itu semua merupakan perilaku yang menurut orang Jawa, sopo siro sopo ingsun. Siapa kamu, siapa aku. Emangnya kamu siapa! Inilah politik adigang adigung adiguna. Siapa berani melawan akan saya lindas! Dan ini semua bisa terjadi di skala lokal hidup sehari-hari hingga skala pertarungan politik nasional.
Menabung Dua Permasalahan
Apabila semua itu benar terjadi, sesungguhnya kita sedang menabung sedikitnya dua permasalahan. Pertama, kita sedang menyalahi sifat hakiki kemanusiaan. Polarisasi, situasi pro dan kontra, kebenaran melawan kebenaran sedang memperagakan kesalahan hakiki itu—100 persen benar itu adalah kami dan 100 persen salah itu adalah mereka. Atau dalam lingkup personal, 100 persen benar itu adalah aku dan 100 persen salah itu adalah dia. Kita berada sangat jauh dari wilayah kedewasaan berpikir.
Saran dari Mbah Markesot adalah meskipun pahit dan tidak nyaman, tapi yang sekarang perlu dilakukan memang bukan mendiskusikan “siapa yang salah”, melainkan duduk bersama untuk secara jernih untuk menemukan “apa yang salah”.
Kedua, kita sedang menyalahi kenyataan keragaman yang menjadi sunnatullah kehidupan. Keyakinan bahwa 100 persen benar itu adalah aku atau kami pada dasarnya merupakan klaim subjektif, yang kalau diungkapkan secara gamblang merupakan ajakan supaya dia atau mereka yang salah 100 persen itu mau bergabung bersama aku atau kami. Setiap individu, pihak, kelompok dan golongan memiliki satu kesanggupan saja, yakni hidup dalam alam homogenitas kebenaran yang diyakininya. Yang berbeda dengan aku atau kami menjadi ancaman.
Warna-warni kehidupan, bermacam suku dan golongan, aneka tradisi dan budaya, mozaik pemikiran dalam situasi viral tak kasat mata, saat kebenaran melawan kebenaran, bukan merupakan anugerah. Viral tak kasat mata itu mengurung pelakunya dalam tempurung kebenaran yang sempit dan gelap.
Dua tabungan yang bermasalah itu apakah akan kita wariskan pada anak cucu? []
jagalan 200117
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H