Bangsa tanpa Sastra
Kita sedang mengalami krisis menjadi bangsa tanpa sastra. Kebudayaan bukan salah satu sektor dalam dunia pragmatis. Dia berada di dalam dan terekspresai ke luar, dari sektor-sektor kehidupan. Tentu saja kebudayaan dapat dilihat sebagai produk dari sisi nilai-guna, tetapi mereduksinya kedalam fungsi pragmatis ini akan menyebabkan kita kehilangan orientasi. Kehilangan orientasi menyebabkan kita berada dalam lilitan persoalan, yaitu ketiadaan strategi kebudayaan, ungkap Ashadi Siregar dalam Menuju Bangsa tanpa Sastra.
Ungkapan lebih gamblang, apakah sekolah bersama korp guru merupakan institusi pragmatis semata ataukah fungsional sebagai institusi kebudayaan? Sedangkan kita tahu dari dunia kebudayaan kita mengenal adanya institusi kebudayaan dengan dinamika yang memelihara makna kehidupan dalam sektor-sektor pragmatis.
Kita bisa melanjutkan simulasi tersebut untuk memahami gerak institusi politik, agama, ekonomi secara jernih dan adil. Persoalannya, apakah kita pernah membayangkan institusi pragmatis semacam partai politik atau korporasi ekonomi misalnya, memiliki konteks pada makna kehidupan dalam orientasi kehadirannya? Sementara yang kita alami adalah institusi-institusi itu justru memproduksi keluaran yang tidak memiliki makna bagi kehidupan manusia.
Padhangmbulan ternyata miskin dari sudut pandang institusi sehingga tidak pernah dan tidak akan di-institusikan, di-lembaga-kan, di-wadah-kan, di-padat-kan. Namun, Padhambulan melimpah ruah kekayaan batin dan ilmunya, melesat jauh cakrawala pandangan matanya, mengakar pijakan kuda-kuda kewaskitaannya. Semua itu anugerah dari Allah dan Rasulullah yang memang sumbut dijadikan harga mati, yang memang seharusnya menjadi faktor primer dalam hidup.
Lantunan bacaan tartil Al Quran yang dibaca Bapak Abdullah Qoyim, wirid Padhangmbulan dan shalawat Nabi yang dipandu oleh Lek Ham dan Cak Luthfi mengalir bersama siraman hujan gerimis, membuka pengajian Padhangmbulan. Malam itu hidup benar-benar terasa sebagai getaran yang mengalir, hingga esok pagi, hingga kita tiba di titik perjuangan paling akhir.[]
Salam
Mentoro 130117
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H