Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengajian Padhangmbulan dan Bangsa Tanpa Sastra

16 Januari 2017   22:07 Diperbarui: 16 Januari 2017   22:23 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: caknun.com. Foto: Hariadi

Bangsa tanpa Sastra

Kita sedang mengalami krisis menjadi bangsa tanpa sastra. Kebudayaan bukan salah satu sektor dalam dunia pragmatis. Dia berada di dalam dan terekspresai ke luar, dari sektor-sektor kehidupan. Tentu saja kebudayaan dapat dilihat sebagai produk dari sisi nilai-guna, tetapi mereduksinya kedalam fungsi pragmatis ini akan menyebabkan kita kehilangan orientasi. Kehilangan orientasi menyebabkan kita berada dalam lilitan persoalan, yaitu ketiadaan strategi kebudayaan, ungkap Ashadi Siregar dalam Menuju Bangsa tanpa Sastra.

Ungkapan lebih gamblang, apakah sekolah bersama korp guru merupakan institusi pragmatis semata ataukah fungsional sebagai institusi kebudayaan? Sedangkan kita tahu dari dunia kebudayaan kita mengenal adanya institusi kebudayaan dengan dinamika yang memelihara makna kehidupan dalam sektor-sektor pragmatis.

Kita bisa melanjutkan simulasi tersebut untuk memahami gerak institusi politik, agama, ekonomi secara jernih dan adil. Persoalannya, apakah kita pernah membayangkan institusi pragmatis semacam partai politik atau korporasi ekonomi misalnya, memiliki konteks pada makna kehidupan dalam orientasi kehadirannya? Sementara yang kita alami adalah institusi-institusi itu justru memproduksi keluaran yang tidak memiliki makna bagi kehidupan manusia.

Padhangmbulan ternyata miskin dari sudut pandang institusi sehingga tidak pernah dan tidak akan di-institusikan, di-lembaga-kan, di-wadah-kan, di-padat-kan. Namun, Padhambulan melimpah ruah kekayaan batin dan ilmunya, melesat jauh cakrawala pandangan matanya, mengakar pijakan kuda-kuda kewaskitaannya. Semua itu anugerah dari Allah dan Rasulullah yang memang sumbut dijadikan harga mati, yang memang seharusnya menjadi faktor primer dalam hidup.

Lantunan bacaan tartil Al Quran yang dibaca Bapak Abdullah Qoyim, wirid Padhangmbulan dan shalawat Nabi yang dipandu oleh Lek Ham dan Cak Luthfi mengalir bersama siraman hujan gerimis, membuka pengajian Padhangmbulan. Malam itu hidup benar-benar terasa sebagai getaran yang mengalir, hingga esok pagi, hingga kita tiba di titik perjuangan paling akhir.[]

Salam

Mentoro 130117

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun