Tulisan ini awalnya saya beri judul: Hoax, Intoleransi, dan Kesesatan Kita Bersama. Setelah saya pikir dan rasakan, judul tersebut terlalu keras dan diam-diam memendam “intoleransi”. Generalisasi frase “kesesatan kita bersama” tentu tidak adil karena sejatinya yang sesat atau tersesat adalah saya sendiri.
Lebih baik kita menuduh diri sendiri sesat daripada menyakiti perasaan kawan atau orang lain. Adapun setelah tuntas membaca tulisan ini terbit kesadaran bahwa kita melakukan kesesatan secara berjamaah, saya mohon maaf atas kelancangan ini.
Siapakah yang tidak sesat diantara kita? Persoalan makan saja kita menerjang wilayah kolesterol, asam urat, hingga darah menjadi tinggi. Kita tersesat di wilayah belantara selera lidah yang mendambakan makanan yang enak daripada mempertimbangkan keseimbangan kesehatan. Enak atau tidak enak—yang seharusnya merupakan pertimbangan sekunder—dijadikan pertimbangan utama atau primer.
Ini baru soal makanan. Kita juga tersesat memahami Live – Work Balance, yang menurut Dedy Dahlan dipahami seperti timbangan. “Seperti beli cabe dan beras di pasar, kebanyakan orang ‘menimbang’ dan mengukur- ngukur waktu dan porsi kerja mereka dengan porsi ‘santai- santai’ mereka. Berat dan porsinya harus sama. Lima kilogram lembur di kantor harus diimbangi dengan lima kilogram ‘leyeh- leyeh’ menonton The Voice sambil ngemil pisang goreng di rumah,” ungkap Dahlan dalam Kenapa “Live – Work Balance” adalah Mitos?
Kesesatan cara pandang dalam memahami hidup dan kerja seimbang menjadi mitos yang tidak mungkin dicapai. Bukan terutama karena kerja dan hidup yang patut disalahkan, melainkan sesat pikir yang keliru. Lalu, siapakah yang tidak sesat diantara kita?
Kita bisa mendaftar rangkaian kesesatan yang lain, misalnya praktek pendidikan yang bukan pendidikan, sekolah yang bukan sekolah, belajar yang bukan belajar, guru yang bukan guru atau siswa yang bukan siswa. Kesesatan itu terangkum dalam ungkapan kaya yang memiskinkan, pandai yang membodohkan, kuasa yang menindas, islam yang mengkafirkan dan seterusnya.
Artinya, perilaku sehari-hari kita kadang mencerminkan kesesatan itu sendiri—mulai dari soal makanan, baju, sekolah, politik, hingga kesesatan yang ternyata berakar dari cara berpikir, sudut berpikir, sikap berpikir, materi berpikir, jarak berpikir, rasa berpikir, nuansa berpikir yang serba tidak tepat. Hidup yang dijalani secara tidak seimbang dalam takaran yang esensial merupakan produk dari sesat paradigma dan cara berpikir.
Medan perang kesesatan ternyata tidak hanya terkait akidah atau keyakinan beragama saja. Kesesatan ini menyentuh wilayah, dimensi, lipatan, rahasia dan bidang kehidupan yang cukup luas dan dalam—seluas hamparan nafsu keinginan yang tidak mengenal batas tepian, sedalam samudera misteri makhluk bernama manusia. Begitu luas, dalam dan lembut sehingga kesesatan yang mengalir dalam darah kesadaran nyaris tidak disadari lagi. Ketidakseimbangan yang menindih ini diserukan sebagai keseimbangan. Lantas apa yang terjadi?
Ironis—sangat-sangat ironis dan naif ketika software berpikir yang bergelimang kesesatan digunakan untuk menuduh orang lain sesat. Terjadilah lingkaran setan: kesesatan yang saling menyesatkan. Lalu seorang sahabat saya berseloroh: “Sesama orang sesat dilarang saling menyesatkan!”
Hoax dan Intoleransi yang Selalu Disudutkan
Kita pun beramai-ramai mengutuk berita hoax dan sikap intoleransi. Padahal hoax dan intoleransi merupakan “buah” dari ketidakseimbangan yang terjadi pada setiap individu, setiap orang, setiap manusia, dan ketidakseimbangan itu menjadi viral-sikap secara berjamaah. Bagaimana hal ini dijelaskan?
Sebuah berita hoax atau kabar burung yang hinggap di linimasa tidak akan menjadi viral kalau setiap orang memiliki kewaspadaan dan keseimbangan berpikir yang ajeg. Sikap waspada terkait dengan kesadaran diri yang utuh dan berdaulat. Seimbang dalam berpikir merupakan softskill dasar yang diterapkan secara sadar dan berdaulat pula.
Namun, hal itu bukan perkara mudah. Mengapa? Pertama, kesadaran diri kerap dibimbing dan dikendalikan oleh kepentingan “atas nama” atau “dalam rangka”—baik dalam skala kepentingan kelompok maupun kepentingan pribadi. Inilah hijab yang menghalangi mripat objektivitas sehingga fakta tidak dilihat secara apa adanya. Berita hoax atau sikap intoleran dijadikan metode berjuang mencapai kepentingan “atas nama” dan “dalam rangka”.
Kedua, mripat objektivitas yang telah terhalang oleh hijab “atas nama” dan “dalam rangka” akan mempengaruhi keseimbangan berpikir. Hegemoni nafsu kepentingan mematahkan kuda-kuda keseimbangan berpikir yang sejatinya telah tertanam secara laten pada setiap manusia. Kesadaran utuh dan sikap berdaulat yang dirampas oleh hegemoni kepentingan merobohkan pilar kemanusiaan yang paling hakiki, yakni ambruknya kemesraan bebrayan sosial di ruang horisontal.
Ketiga, kalau hoax dan intoleransi adalah racun, hanya ketidakseimbangan pikiran yang mendorong seseorang secara suka rela menyebarkan dan mengonsumsinya. Yang kita perlukan bukan mengutuk racun, melainkan mencermati ketidakseimbangan, menata kembali gerak pikiran dengan kesadaran yang utuh-penuh dan sikap berdaulat.
Sebelum mendata kesesatan yang diselenggarakan secara nasional atau mengajak mereka yang tersesat agar kembali ke jalan yang benar—kita bongkar terlebih dahulu kesesatan diri kita. Setidaknya kalau ada orang atau pihak yang mengatakan kita sesat, kita punya jawaban: “Aku memang sesat. Ente mau apa…?!”
Ini pun bukan pekerjaan yang mudah di tengah 200 juta manusia tersesat ke satu lorong cita-cita yang sama: mau kaya, eksis dan berkuasa. []
Salam
jagalan rumah ngaji 070117
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H