Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pasar Tradisional, Pilar Kebudayaan Khas Negeri Nusantara

3 Januari 2017   12:34 Diperbarui: 3 Januari 2017   14:37 3383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Izin pendirian minimarket menjadi persoalan krusial. Pada 2011 Pemda DKI mirilis data hasil verifikasi tercatat 2.162 minimarket di Jakarta. Terdapat 67 minimarket yang memiliki izin lengkap dan 2.095 minimarket melanggar Perda No 2 tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta dan Ingub No 115 tahun 2006 tentang Penundaan Perizinan Usaha minimarket. Bagaimana daerah di luar DKI Jakarta?

Pemerintah Kota Tomohon, Sulawesi Utara menghentikan sementara pemberian izin pembangunan minimarket. Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara juga melakukan hal serupa, dan banyak daerah lainnya.  

Di tengah minimarket yang menggurita masyarakat disuguhi oleh impulse buying—konsumen berbelanja tidak hanya berdasarkan kebutuhan, tetapi juga didorong oleh keinginan. Atmosfer konsumerisme mengepung di hampir setiap sudut kesadaran. Sejak disuguhi iklan di televisi yang mengimpresi penonton setiap detik, iming-iming diskon yang gila-gilaan, hingga penataan rak barang dagangan yang tertata rapi dalam ruangan yang bersih dan nyaman.

Nafsu belanja bagaikan kuda liar, bebas berlari sepuas-puasnya di tengah padang rumput. Keinginan memuaskan nafsu berbelanja menjadi kebutuhan itu sendiri. Kebutuhan yang pada dasarnya terbatas dan bisa dikendalikan, pada akhirnya ambrol diterjang nafsu keinginan yang nyaris tak bertepi.

Urgensi Hari Pasar Rakyat Nasional

Mbak Mut, saya biasa memanggilnya demikian. Wanita yang sudah berumur itu berjualan nasi pecel di utara Pasar Citra Niaga Jombang. Sepeda onthel yang dimodif dengan rombong nasi pecel itu mangkal diantara pedagang pasar tradsional. Pagi itu saya berencana nebas atau membeli semua nasi pecel Mbak Mut untuk rombongan teman-teman dari kota Malang.

“Jangan dibeli semua, Mas!” sergah Mbak Mut.

“Kenapa? Kan enak bisa segera pulang.”

Mboten ngoten, Mas.”

Sambil tangannya cekatan membungkus nasi pecel, Mbak Mut menjelaskan, kuli angkut, tukang becak, dan pedagang pasar yang menjadi langganan bisa tidak kebagian nasi pecel. “Kasihan, Mas,”  katanya, “mereka juga butuh sarapan.”

Saya mematung dan tercenung. Menurut perspektif ilmu ekonomi modern, keputusan Mbak Mut tersebut akan ditertawakan sebagai keputusan naif dan bodoh. Namun tidak demikian menurut perspektif bebrayan sesama manusia. Peristiwa jual beli adalah wadah untuk mengekspresikan harkat kemanusiaan yang beradab. Keuntungan dari hasil menjual barang dagangan tidak  harus berupa uang atau materi. Laba akherat, demikian istilah penjual durian yang mangkal depan Pasar Citra Niaga Jombang, merupakan keuntungan yang tak kalah mulia dan menggembirakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun