Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menemukan Toleransi di Makam Gus Dur

30 Desember 2016   23:03 Diperbarui: 31 Desember 2016   10:53 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: makassar.tribunnews.com

Bukan kematian benar menusuk kalbu, ungkap Chairil Anwar. Mati itu pasti, namun bagaimana peristiwa yang mengiringi kematian seseorang akan menyisakan duka tersendiri di sudut hati. Bahkan pada detik terakhir nyawa di tenggorokan, kita mendambakan proses kematian yang “beradab”.

Detik-detik peristiwa menjelang kematian sungguh mutlak rahasia Tuhan. Kerabat saya melepas hidupnya di tengah perjalanan dari Jombang menuju Malang di dalam ambulan. Ditemani istri dan seorang kerabat yang lain, setiap detik itu seakan ingin dinikmatinya secara damai—sunyi di pangkuan sang istri.

Hidup tidak selamanya berjalan sesuai kehendak dan keinginan kita—demikian pula kematian. Entah dengan cara dan keadaan bagaimana akhir hidup kita, satu yang pasti: kita ingin akhir yang baik. Husnul khotimah kata bahasa agama. Akhir hidup yang baik ini bukan semata menurut mata pandang manusia, tapi mata pandang Tuhan itu yang utama. Bukankah kematian adalah pergi untuk kembali kepada Sang Maha Hidup? Husnul khotimah bukan penilaian apalagi vonis yang diberikan manusia. Kita hanya berdoa dan mendoakan, seraya terus menerus mengolah hidup agar menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama.

Belajar Manusia kepada Gus Dur

Beberapa hari lalu bersama sahabat dari Jakarta saya ziarah ke makam Gus Dur di Pesantren Tebuireng Jombang. Sahabat saya terheran-heran menyaksikan arus peziarah yang terus mengalir. Duapuluh empat jam—tanpa henti. Keheranan itu memuncak ketika ia menyaksikan rombongan  sedulur Tionghoa berziarah ke makam Gus Dur. Di area makam Gus Dur tidak ada diskriminasi—peziarah muslim dan Tionghoa diberi tempat dan kesempatan yang sama.

“Bahkan hingga meninggal pun Gus Dur merukunkan banyak golongan,” bisik sahabat saya. Di tengah sensasi ketakjuban itu saya ngguyoni sahabat saya, “Bahkan para satpam itu tidak menanyakan agama para peziarah. Tidak juga bertanya Tuhan “sebelah mana” yang dimintai doa.”

Sahabat saya tertawa. “Pemandangan di sekitar makam Gus Dur adalah pemandangan bersatunya rasa kemanusiaan. Adapun bagaimana para peziarah berdoa, membaca tahlil atau yasin, cukup duduk berdiam diri atau mengkhatamkan Al-Qur’an, mewiridkan bacaan tasbih atau tahmid—itu semua penting tapi pada konteks hubungan sosial horisontal bukan pointer yang perlu diperdebatkan.”

Kita menyaksikan para peziarah  dari berbagai lapisan dan golongan bergantian saling memberi tempat. Tidak ada yang usil atau mempermasalahkan bacaan tahlil dan doa yang dibaca rombongan di sebelah mereka. Tidak beradu argumen dan dalil untuk membela keyakinan dan kepentingan. Mereka bergerak dalam arus tujuan yang sama: berdoa kepada Allah Swt. Gerak vertikal dibarengi gerak horisontal. Keyakinan ubudiyah berbarengan dengan kemaslahatan muamalah. Iman yang bersifat sangat pribadi melebur ke dalam bebrayan sosial. Identitas sosial kultural tetap terlihat, namun tidak menjadi simbol pemisah dan pemantik perpecahan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Struktur dan kesadaran berpikir menjadi kunci. Keyakinan, iman, akidah adalah akar yang berada dalam tanah. Tidak tampak dan memang dalam ruang dan waktu tertentu tidak perlu tampak. Sesuatu yang tidak harus selalu tampak merupakan aurat. Ibarat peta struktur sebuah rumah, keyakinan, iman, akidah, dan ibadah mahdloh berada di wilayah dapur. Di sana kita nggodhok kopi untuk disuguhkan kepada tamu. Mau merebus air memakai kompor gas atau kompor minyak tanah, kopi instan atau kopi murni, gula tiga sendok atau lima sendok, diaduk lima kali putaran atau sepuluh putaran—monggo dikerjakan sesuai juklak juknis keyakinan masing-masing.

Bahkan ruang privasi itu juga terletak di kamar tidur pribadi. Kita bisa mensimulasi kegiatan di kamar tidur lalu dikaitkan dengan akar, dapur dan akidah. Ini gambaran sederhana tentang akidah dan ibadah mahdloh.

Setelah melakukan “ritual” nggodhok kopi yang bersifat pribadi itu, kita menyajikan kopi tersebut di ruang tamu—simbol ruang bebrayan sosial, ber-hablum minannas, ber-dialektika horisontal. Pada skala horisontal ini rasa, martabat, dan harga diri saling menjunjung nilai kemanusiaan menjadi pilar kesadaran paling utama. Pemandangan peziarah di makam Gus Dur mengabarkan harmoni nilai kemanusiaan yang tulus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun