Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Bahagia kepada Rakyat Indonesia

23 Desember 2016   23:26 Diperbarui: 24 Desember 2016   10:38 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesawat terbang melintas di angkasa. “Kapal terbang aku njaluk duwikeeee…!” teriak anak-anak kecil di lapangan yang bermain layang-layang. Bukan hanya berteriak, anak-anak mengucapkan kalimat permintaan itu sambil melompat-lompat gembira. Tentu saja tidak ada respon apapun dari pilot dan penumpang pesawat. Namun rasa bahagia meneriakkan permohonan itu tidak harus berakhir dengan dilemparnya segepok uang yang semburat di angkasa raya.

Setiap ada pesawat terbang melintas anak-anak akan selalu berteriak minta uang. Pada tahun 80-an saya termasuk diantara anak-anak itu. Saya tidak tahu siapa yang memulai teriakan itu. Lagi pula media sosial belum ramai seperti sekarang, sehingga teriakan saya dan kawan-kawan mustahil menjadi viral yang mendunia.

Penumpang pesawat terbang adalah orang yang berkantong tebal. Uang yang dilempar tidak perlu banyak asal cukup untuk membeli es lilin atau rujak bumbu. Teriakan minta uang itu seperti menggambarkan kehidupan yang sulit pada zaman itu. Walaupun hidup susah anak-anak selalu menemukan cara alamiah agar tetap bergembira.

Zaman berganti.  Kesusahan hidup seperti enggan beranjak pergi. Minta uang kepada penumpang pesawat terbang kini mengalami evolusi menjadi om telolet om. Dari permintaan yang "wajar" itu—minta uang, entah karena hidup yang semakin berat dan sarat tekanan, dikabulkannya permintaan bunyi klakson telolet itu menerbitkan kebahagiaan. Nuansa pesan kegembiraan tetap sama: rakyat Indonesia adalah manusia yang piawai menertawakan penderitaan.

Saya tidak mengizinkan penindasan, namun ketika hujan lebat penderitaan mengguyur, kita menyaksikan manusia Indonesia akan selalu tersenyum dan tertawa. Mentalitas manusia Indonesia untuk “ngakali” penderitaan tergolong nomor wahid. Persoalan sehari-hari, mulai skala RT hingga nasional, merupakan bahan guyonan yang cukup renyah untuk dikunyah bersama.

Kesanggupan menghibur diri manusia Indonesia mungkin tiada tanding. Kita boleh tidak jadi juara AFF karena memilih “ngalah” dari Thailand. Kalah dan ngalah itu beda. Kalah itu terpaksa sehingga terasa menyakitkan. Ngalah itu luhur wekasane, ungkap filosofi budaya Jawa. Ngalah—bisa saja atau bahkan pasti menjadi pemenang, tapi berkat keluhuran budi dan keluasaan hati, kesempatan menang diberikan kepada lawan. Sepak bola nasional kita mungkin memegang filosofi itu. Bukankah hal itu sikap yang mulia?

Kita memang tidak mentolo untuk menyakiti Thailand. Mereka sedang dalam suasana berkabung yang baru saja kehilangan Raja Bhumibol Adulyadej pada 13 Oktober lalu. Meninggalnya sang raja menjadi dukacita nasional. Suasana berkabung itu dijalani hingga sepuluh bulan ke depan. Apa kita tega merebut piala AFF itu di tengah suasana duka yang sedang menyelimuti rakyat Thailand?

Bahkan di tengah lubang kabar hoax yang masih menganga di jagad media sosial, kita masih nyantai melakukan copy paste, menyebar tautan tanpa sikap kritis dan waspada. Sangat aktif bahkan—di grup Whatsapp yang saya ikuti selang beberapa menit saja tiga orang teman mengirim paste tulisan yang sama. Semua anggota grup tertawa dan senang menikmati kekonyolan itu.

Bandingkan dengan pemerintah Jerman yang “terlalu” serius menyikapi berita hoax. Awal tahun depan pemerintah Jerman mengancam akan menerbitkan undang-undang yang akan menjatuhkan denda kepada Facebook atau perusahaan media sosial lainnya sampai 500 ribu euro atau tujuh mliar rupiah untuk setiap penerbitan berita palsu atau hoax.

Ancaman itu disampaikan Ketua Parlemen Jerman dari Partai Sosial Demokrat, Thomas Oppermann, awal pekan ini. Platfom seperti Facebook akan diwajibkan secara hukum untuk membangun sebuah kantor perlindungan hukum di Jerman yang buka 24 jam sehari, 365 hari,  setahun,” ujar Oppermann. Volker Kauder, anggota senior Partai Kristen Demokrat, setuju dengan rekannya.

Presiden Parlemen Eropa Martin Schulz bahkan tegas menyatakan, "Berita palsu harus menjadi harga mahal bagi perusahaan seperti Facebook jika mereka tidak menghentikan penyebarannya.”

Hingga kini Facebook menganggap platform dirinya sebagai ruang untuk berbagi, namun di tengah perjalanan Facebook menjadi platform berita. Apalagi orang cenderung mengakses berita melalui tautan yang dibagi di media masa daripada langsung ke situs berita. Mesin algoritma yang menjadi logika dasar media sosial akan menuntun seseorang memasuki dunia homogen yang cukup dipisahkan oleh suka atau tidak suka.

Hal itu membuat Menteri Kehakiman Jerman Heiko Maas mengeluarkan pernyataan bahwa Facebook harus diperlakukan sebagai media, bahkan jika mereka tidak sesuai dengan konsep media televisi atau radio. Mereka (kelompok media sosial) bertanggung jawab secara pidana karena gagal untuk menghapus ujaran kebencian.

Itu semua bukan sekadar tantangan bagi jurnalisme—persoalan lubang menganga berita hoax adalah persoalan manusia yang saling menjebak dan menjerumuskan sesama manusia ke dalam situasi gelap kebodohan. Ironis memang: kemajuan informasi dan teknologi justru menelanjangi harkat dan martabat manusia.

Obyektifitas dan kebenaran dikalahkan oleh subjektivitas dan benere dhewe. Post-truth menjadi keniscayaan yang langka di tengah berita eceran dan remeh temeh sikap partisan sesaat. Namun, siapa tidak tergiur oleh sikap partisan yang menjanjikan pundi-pundi uang? Sedangkan kita semua tahu, uang adalah panglima bagi selera puncak materialisme zaman ini. Maka, berita hoax bukan berita hoax menurut selera “kebenaran” tertentu, karena kebenaran bersifat ndak tentu. Kalau sesuai selera dan menguntungkan, berita itu akan benar adanya. Kalau tidak sesuai selera dan merugikan kepentingan sebagai partisan, pasti berita itu hoax.

Absurd bukan? Evolusi sikap denotatif menjadi konotatif akan dan sedang terus berlangsung. “Telolet” tidak harus memiliki akar denotatif—ia sekadar bunyi-bunyian seperti “tolilet”, “tololet”, “telolot”, “tulalit”, yang membahagiakan banyak orang. 

"Ekspor" telolet ke belahan dunia menunjukkan setidaknya satu hal: dunia harus belajar kepada rakyat Indonesia bagaimana menemukan metode untuk bergembira—menertawakan penderitaan agar tetap jadi manusia. Atau paling tidak kita belajar menjadi manusia kepada “telolet” dan berita hoax. 

Manusia memang tan kena kinira kinaya ngapa, sulit diduga dan dikira. Manusia bisa merasakan kaya dalam kemiskinan, bahagia dalam penderitaan.[]

rumah ngaji 231216

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun