Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Bahagia kepada Rakyat Indonesia

23 Desember 2016   23:26 Diperbarui: 24 Desember 2016   10:38 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga kini Facebook menganggap platform dirinya sebagai ruang untuk berbagi, namun di tengah perjalanan Facebook menjadi platform berita. Apalagi orang cenderung mengakses berita melalui tautan yang dibagi di media masa daripada langsung ke situs berita. Mesin algoritma yang menjadi logika dasar media sosial akan menuntun seseorang memasuki dunia homogen yang cukup dipisahkan oleh suka atau tidak suka.

Hal itu membuat Menteri Kehakiman Jerman Heiko Maas mengeluarkan pernyataan bahwa Facebook harus diperlakukan sebagai media, bahkan jika mereka tidak sesuai dengan konsep media televisi atau radio. Mereka (kelompok media sosial) bertanggung jawab secara pidana karena gagal untuk menghapus ujaran kebencian.

Itu semua bukan sekadar tantangan bagi jurnalisme—persoalan lubang menganga berita hoax adalah persoalan manusia yang saling menjebak dan menjerumuskan sesama manusia ke dalam situasi gelap kebodohan. Ironis memang: kemajuan informasi dan teknologi justru menelanjangi harkat dan martabat manusia.

Obyektifitas dan kebenaran dikalahkan oleh subjektivitas dan benere dhewe. Post-truth menjadi keniscayaan yang langka di tengah berita eceran dan remeh temeh sikap partisan sesaat. Namun, siapa tidak tergiur oleh sikap partisan yang menjanjikan pundi-pundi uang? Sedangkan kita semua tahu, uang adalah panglima bagi selera puncak materialisme zaman ini. Maka, berita hoax bukan berita hoax menurut selera “kebenaran” tertentu, karena kebenaran bersifat ndak tentu. Kalau sesuai selera dan menguntungkan, berita itu akan benar adanya. Kalau tidak sesuai selera dan merugikan kepentingan sebagai partisan, pasti berita itu hoax.

Absurd bukan? Evolusi sikap denotatif menjadi konotatif akan dan sedang terus berlangsung. “Telolet” tidak harus memiliki akar denotatif—ia sekadar bunyi-bunyian seperti “tolilet”, “tololet”, “telolot”, “tulalit”, yang membahagiakan banyak orang. 

"Ekspor" telolet ke belahan dunia menunjukkan setidaknya satu hal: dunia harus belajar kepada rakyat Indonesia bagaimana menemukan metode untuk bergembira—menertawakan penderitaan agar tetap jadi manusia. Atau paling tidak kita belajar menjadi manusia kepada “telolet” dan berita hoax. 

Manusia memang tan kena kinira kinaya ngapa, sulit diduga dan dikira. Manusia bisa merasakan kaya dalam kemiskinan, bahagia dalam penderitaan.[]

rumah ngaji 231216

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun