Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Walau Dihujani Masalah, Hidup tidak Lebih Baik daripada Sekarang

19 November 2016   23:15 Diperbarui: 20 November 2016   00:09 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.waroengsteakbandung.com/

Kalimat paling berkesan dari Ki Ageng Suryomentaram yang melekat di pikiran saya, seperti ditulis oleh Muhaji Fikriono dalam Puncak Makrifat Jawa adalah: “Kata-kata hanya dapat dipergunakan untuk membahas benda, rasa, dan ide. Jadi, kata-kata bukanlah apa yang dikatakan. Kata ‘meja’ bukanlah meja…”

Ketika seseorang berkata, “Saya sedang bahagia,”—hanyalah ide dari rasa bahagia yang dia rasakan. Adapun bahagia itu sendiri tetaplah sebuah suasana perasaan yang tidak mudah dideskripsi secara gamblang. Sebagaimana rasa manis pada secangkir kopi, teh, sirup akan cukup diwakili oleh kata ‘manis’ yang tidak selalu menggambarkan hakekat rasa manis itu sendiri. Ide rasa manis dan rasa manis  merupakan dua kenyataan yang berbeda.

Sebuah kata bisa menyeret kita ke masa lalu yang tak berujung sekaligus melemparkan kita ke masa depan yang gaib. Rasa dan ide yang dikandung oleh sebuah kata akan melayang-melayang diantara tiga kenyataan waktu—masa lalu, masa kini, masa depan. Meski demikian, tetap saja banyak orang tidak menyadari hal tersebut, karena mereka cenderung terseret atau terlempar ke masa lalu dan masa depan.

Masa kini, sekarang ini, saiki sekadar menjadi kenyataan waktu yang tidak dijalani secara utuh. Pikiran tersedot untuk mengutuk masa lalu atau melukis mimpi masa depan—dengan sikap yang kadang berlebihan. Seseorang tidak cukup merasa bahagia. Dia bahkan berupaya sedemikian rupa agar bisa merasa sangat bahagia, disertai ekspresi dan ungkapan untuk menunjukkan bahwa dia sedang sangat bahagia.

Demikian seterusnya hingga pada detik berikutnya dia dihantam oleh rasa sedih, yang dirasakan tidak pada kadar yang cukup. Ia pun merasa sangat sedih. Apa akibatnya?

Ia akan diliputi rasa sedih yang mendalam dan berkepanjangan ketika menengok masa lalu, atau dicekam perasaan sangat kawatir saat menatap masa depan. Masa lalu hadir sebagai kutukan yang harus disalahkan. Masa depan hadir sebagai ancaman yang harus ditakuti. Situasi hidup yang penuh tekanan—ditekan oleh kecemasan demi kecemasan, ketakutan demi ketakutan, kegalauan demi kegalauan.

Obsesi berlebihan tentang masa lalu dan masa depan memenjarakan seseorang pada situasi ketidakberdayaan. Padahal masa lalu adalah ruang waktu paling jauh yang tak bisa dijangkau oleh siapapun. Sedangkan masa depan adalah misteri yang cukup pekat untuk disingkap. Masa depan bergerak dalam prediksi visi yang akan mengikuti hukum relativitas.

Manusia tidak bisa ucul atau melepaskan dirinya dari ikatan ruang ke-disini-an dan  waktu ke-kini-an. Walaupun seseorang sanggup melakukan transformasi atau percepatan energi menembus dinding ruang dan waktu, ia tetap berada dalam dekapan ruang disini dan waktu sekarang.

Merujuk konteks kesadaran tersebut, wejangan Ki Ageng Suryomentaram tidak pernah lapuk dimakan zaman. Sak iki, kene, ngene, aku gelem. Sekarang ini, disini, begini ini, saya rela. Kesadaran yang dibangun untuk menemukan kembali keutuhan manusia di tengah obsesi zaman yang merajam kesadaran manusia menjadi kepingan-kepingan.

Merangkum waktu (sekarang), ruang (disini), keadaan (begini ini), lalu menerima ketiganya secara merdeka dan berdaulat: aku gelem, aku rela. Bukan fatalisme atau putus asa total, melainkan menegakkan kesadaran diri agar lebih utuh, lebih bulat, lebih padu—ibarat tonggak yang tegak di tengah badai yang tidak selalu bersahabat. Kita tidak dapat bergerak dalam waktu karena mustahil bagi kita beranjak dari sekarang.

Kita tidak hendak membuka ruang perdebatan tentang misalnya, obsesi H.G. Wells penulis novel The Time Machine,yang menjalankan Si Pelancong Waktu dan terlempar hingga ke ratusan ribu tahun di masa depan. Berkat mesin waktu di sana ia berpetualang selama delapan hari, lalu pulang kembali ke masa kini.

Wejangan Ki Ageng tentang disini dan sekarang ini sebagai kesadaran yang utuh-mengutuh juga tidak perlu dibenturkan dengan obsesi fisikawan paling bersinar zaman ini,Stephen Hawking. “Perjalanan lintas waktu pernah dianggap sebagai kesesatan saintifik,” ungkap Hawking. “Saya pernah menahan diri dari membicarakannya supaya tidak dicap senewen. Tapi, sekarang, saya bisa lebih santai. Andai punya mesin waktu, saya akan mengunjungi Marilyn Monroe ketika ia sedang pulen-pulennya atau menonton Galileo saat ia meneropong surga. Saya barangkali akan berkunjung ke akhir alam semesta untuk mengetahui bagaimana keseluruhan cerita kosmik kita berakhir.”

Kita memang tidak bisa beranjak untuk sedikit saja bergeser dari waktu sekarang. Sehingga mengasingkan diri ke masa lalu atau melarikan diri ke masa depan untuk meraih bahagia seakan menjadi obsesi tak terhindarkan. Padahal jika kita disodori kemungkinan untuk bisa hidup kembali, pilihan paling cerdas dan tepat adalah hidup sekarang, ya sekarang ini, di era masa kini. Artinya, kebahagiaan, keberlimpahan, kesyukuran itu ya sekarang ini, di sini—bukan di masa depan apalagi di masa lalu.

Walaupun pada 2016 ini dunia dijejali oleh persoalan terorisme global, perubahan iklim, krisis pangan, tragedi kemanusiaan bukan halangan bagi kita untuk memasuki surga kebersamaan—sekarang, disini, seraya rela serela-relanya menerima semua kenyataan tersebut secara utuh dan padu. Bagaimanapun, seperti diungkapkan oleh peneliti Ian Goldin dan Chris Kutarna dalam buku mereka Age of Discovery, hidup kita tak pernah lebih baik daripada sekarang.

Ya, sekarang, disini, kita berbahagia, merasakan keberlimpahan ini dengan cara berbagi bahagia pada sesama. Menjadi orang yang memberikan kontribusi positif dalam skala paling lokal sekalipun, dan setiap orang, sepuluh, seratus, berjuta-juta orang mengerjakannya, maka perbaikan bertahap secara perlahan-lahan akan memberikan dampak lompatan besar.

Jadi, yang kita dambakan bukan sekadar bahagia, melainkan rasa damai. Bagaimana hal itu bisa terwujud? “Rasa merdeka (raos mardika) adalah rasa tidak bertentangan (damai). Jika orang telah menyaksikan sesuatu dan memahami sifatnya, maka ia akan merasa bebas, yakni tidak bertentangan dengan sesuatu yang telah disaksikan dan dipahaminya. Menyaksikan dan memahami itu tidak hanya melalui pancaindera, tetapi juga dengan rasa (hati) dan pikiran,” demikian wejangan Ki Ageng Suryomentaram.

Untuk merasakan damai kita tidak perlu mengungsi ke masa lalu atau masa depan, karena damai ini bersemayam dalam kandungan kesadaran yang utuh—sekarang dan disini.[]

Jagalan 191116

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun