Wejangan Ki Ageng tentang disini dan sekarang ini sebagai kesadaran yang utuh-mengutuh juga tidak perlu dibenturkan dengan obsesi fisikawan paling bersinar zaman ini,Stephen Hawking. “Perjalanan lintas waktu pernah dianggap sebagai kesesatan saintifik,” ungkap Hawking. “Saya pernah menahan diri dari membicarakannya supaya tidak dicap senewen. Tapi, sekarang, saya bisa lebih santai. Andai punya mesin waktu, saya akan mengunjungi Marilyn Monroe ketika ia sedang pulen-pulennya atau menonton Galileo saat ia meneropong surga. Saya barangkali akan berkunjung ke akhir alam semesta untuk mengetahui bagaimana keseluruhan cerita kosmik kita berakhir.”
Kita memang tidak bisa beranjak untuk sedikit saja bergeser dari waktu sekarang. Sehingga mengasingkan diri ke masa lalu atau melarikan diri ke masa depan untuk meraih bahagia seakan menjadi obsesi tak terhindarkan. Padahal jika kita disodori kemungkinan untuk bisa hidup kembali, pilihan paling cerdas dan tepat adalah hidup sekarang, ya sekarang ini, di era masa kini. Artinya, kebahagiaan, keberlimpahan, kesyukuran itu ya sekarang ini, di sini—bukan di masa depan apalagi di masa lalu.
Walaupun pada 2016 ini dunia dijejali oleh persoalan terorisme global, perubahan iklim, krisis pangan, tragedi kemanusiaan bukan halangan bagi kita untuk memasuki surga kebersamaan—sekarang, disini, seraya rela serela-relanya menerima semua kenyataan tersebut secara utuh dan padu. Bagaimanapun, seperti diungkapkan oleh peneliti Ian Goldin dan Chris Kutarna dalam buku mereka Age of Discovery, hidup kita tak pernah lebih baik daripada sekarang.
Ya, sekarang, disini, kita berbahagia, merasakan keberlimpahan ini dengan cara berbagi bahagia pada sesama. Menjadi orang yang memberikan kontribusi positif dalam skala paling lokal sekalipun, dan setiap orang, sepuluh, seratus, berjuta-juta orang mengerjakannya, maka perbaikan bertahap secara perlahan-lahan akan memberikan dampak lompatan besar.
Jadi, yang kita dambakan bukan sekadar bahagia, melainkan rasa damai. Bagaimana hal itu bisa terwujud? “Rasa merdeka (raos mardika) adalah rasa tidak bertentangan (damai). Jika orang telah menyaksikan sesuatu dan memahami sifatnya, maka ia akan merasa bebas, yakni tidak bertentangan dengan sesuatu yang telah disaksikan dan dipahaminya. Menyaksikan dan memahami itu tidak hanya melalui pancaindera, tetapi juga dengan rasa (hati) dan pikiran,” demikian wejangan Ki Ageng Suryomentaram.
Untuk merasakan damai kita tidak perlu mengungsi ke masa lalu atau masa depan, karena damai ini bersemayam dalam kandungan kesadaran yang utuh—sekarang dan disini.[]
Jagalan 191116
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H