Kalimat paling berkesan dari Ki Ageng Suryomentaram yang melekat di pikiran saya, seperti ditulis oleh Muhaji Fikriono dalam Puncak Makrifat Jawa adalah: “Kata-kata hanya dapat dipergunakan untuk membahas benda, rasa, dan ide. Jadi, kata-kata bukanlah apa yang dikatakan. Kata ‘meja’ bukanlah meja…”
Ketika seseorang berkata, “Saya sedang bahagia,”—hanyalah ide dari rasa bahagia yang dia rasakan. Adapun bahagia itu sendiri tetaplah sebuah suasana perasaan yang tidak mudah dideskripsi secara gamblang. Sebagaimana rasa manis pada secangkir kopi, teh, sirup akan cukup diwakili oleh kata ‘manis’ yang tidak selalu menggambarkan hakekat rasa manis itu sendiri. Ide rasa manis dan rasa manis merupakan dua kenyataan yang berbeda.
Sebuah kata bisa menyeret kita ke masa lalu yang tak berujung sekaligus melemparkan kita ke masa depan yang gaib. Rasa dan ide yang dikandung oleh sebuah kata akan melayang-melayang diantara tiga kenyataan waktu—masa lalu, masa kini, masa depan. Meski demikian, tetap saja banyak orang tidak menyadari hal tersebut, karena mereka cenderung terseret atau terlempar ke masa lalu dan masa depan.
Masa kini, sekarang ini, saiki sekadar menjadi kenyataan waktu yang tidak dijalani secara utuh. Pikiran tersedot untuk mengutuk masa lalu atau melukis mimpi masa depan—dengan sikap yang kadang berlebihan. Seseorang tidak cukup merasa bahagia. Dia bahkan berupaya sedemikian rupa agar bisa merasa sangat bahagia, disertai ekspresi dan ungkapan untuk menunjukkan bahwa dia sedang sangat bahagia.
Demikian seterusnya hingga pada detik berikutnya dia dihantam oleh rasa sedih, yang dirasakan tidak pada kadar yang cukup. Ia pun merasa sangat sedih. Apa akibatnya?
Ia akan diliputi rasa sedih yang mendalam dan berkepanjangan ketika menengok masa lalu, atau dicekam perasaan sangat kawatir saat menatap masa depan. Masa lalu hadir sebagai kutukan yang harus disalahkan. Masa depan hadir sebagai ancaman yang harus ditakuti. Situasi hidup yang penuh tekanan—ditekan oleh kecemasan demi kecemasan, ketakutan demi ketakutan, kegalauan demi kegalauan.
Obsesi berlebihan tentang masa lalu dan masa depan memenjarakan seseorang pada situasi ketidakberdayaan. Padahal masa lalu adalah ruang waktu paling jauh yang tak bisa dijangkau oleh siapapun. Sedangkan masa depan adalah misteri yang cukup pekat untuk disingkap. Masa depan bergerak dalam prediksi visi yang akan mengikuti hukum relativitas.
Manusia tidak bisa ucul atau melepaskan dirinya dari ikatan ruang ke-disini-an dan waktu ke-kini-an. Walaupun seseorang sanggup melakukan transformasi atau percepatan energi menembus dinding ruang dan waktu, ia tetap berada dalam dekapan ruang disini dan waktu sekarang.
Merujuk konteks kesadaran tersebut, wejangan Ki Ageng Suryomentaram tidak pernah lapuk dimakan zaman. Sak iki, kene, ngene, aku gelem. Sekarang ini, disini, begini ini, saya rela. Kesadaran yang dibangun untuk menemukan kembali keutuhan manusia di tengah obsesi zaman yang merajam kesadaran manusia menjadi kepingan-kepingan.
Merangkum waktu (sekarang), ruang (disini), keadaan (begini ini), lalu menerima ketiganya secara merdeka dan berdaulat: aku gelem, aku rela. Bukan fatalisme atau putus asa total, melainkan menegakkan kesadaran diri agar lebih utuh, lebih bulat, lebih padu—ibarat tonggak yang tegak di tengah badai yang tidak selalu bersahabat. Kita tidak dapat bergerak dalam waktu karena mustahil bagi kita beranjak dari sekarang.
Kita tidak hendak membuka ruang perdebatan tentang misalnya, obsesi H.G. Wells penulis novel The Time Machine,yang menjalankan Si Pelancong Waktu dan terlempar hingga ke ratusan ribu tahun di masa depan. Berkat mesin waktu di sana ia berpetualang selama delapan hari, lalu pulang kembali ke masa kini.