Masih pagi. Kawan saya bercerita panjang lebar terkait kegelisahan hatinya. Bukan persoalan pribadi, melainkan bagaimana kegiatan belajar di sekolah dasar dikemas secara asal-asalan. Hanya ikut-ikutan, latah. Sekolah menyelenggarakan kegiatan—namanya keren, Market Day—namun tidak diberangkatkan dari konsep dan pemahaman yang akurat.
“Apakah sekolah berkewajiban memenuhi sejumlah persyaratan agar suatu kegiatan memiliki makna dan tujuan yang bersifat edukatif?” tanya saya.
“Harus itu!”
“Kenapa harus? Siapa yang mengharuskan?”
Kawan saya diam cukup lama. Lalu ia berbicara seperti baru tersadar dari sesuatu.
“Iya ya. Tidak ada pihak mana pun mengharuskan sekolah agar benar-benar memenuhi peran dan fungsinya—yang secara hakiki tidak boleh melempaskan diri dari nilai-nilai edukasi. Apalagi sekadar kegiatan seperti Market Day yang sangat besar peluangnya untuk disalahpahami konsep dasar berpikirnya.
Saya tidak ngeh alias tidak mudeng dengan pihak sekolah yang berpikir secara parsial, sepenggal-sepenggal, terkotak-kotak, terbata-bata dalam menggagas dan merancang kegiatan untuk siswa tanpa diikuti sikap belajar yang serius dari para guru, misalnya tentang konsep dasar Market Day. Tidak heran, program Market Day menjadi Hari Berbelanja. Sekolah telah menanam benih konsumersime, karena tahapan berpikir entrepreneur yang seharusnya dikenal siswa, direduksi sedemikian rupa.”
“Itu kasus sekolah per sekolah ataukah kasus mayoritas?”
“Apakah masih penting menjawab pertanyaan itu ketika sekolah sudah merasa sangat kesulitan merumuskan dirinya, merumuskan apa yang sesungguhnya sedang mengepung dirinya, merumuskan bagaimana murid-muridnya, merumuskan peta perjalanan masa depan, merumuskan tantangan zaman? Kecuali pada kasus dan situasi tertentu sekolah sangat gamblang merumuskan berapa pundi-pundi keuntungan setiap tahun dari penermaan siswa baru beserta perlengkapan keras dan lunak yang harus dibayar oleh orangtua...”
Saya perhatikan kawan saya seperti sedang kerasukan pemikiran Paulo Freire. Entah, apakah dia berani mengutarakan semua pemikiran itu di depan kepala sekolah dan pengurus yayasan ataukah tidak. Dia harus berpikir ulang sebelum stempel tukang makar menempel di jidat.
Sekolah menjadi lembaga yang telah selesai dengan dirinya. Tidak memerlukan lokomotif yang membawanya ke cakrawala masa depan. Tidak merasa perlu meniti rel-rel kenyataan zaman. Tidak tertarik untuk melintasi ruang demi ruang dan mengarungi waktu demi waktu. Buat apa repot-repot melakukan semua itu, toh siswa dan orangtua merasa cukup dengan layanan “pendidikan” ala kadarnya ini.