Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dunia yang Terperangkap dalam Tetesan Air

26 Oktober 2016   14:59 Diperbarui: 26 Oktober 2016   21:10 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: http://www.bbc.com/

Jika Lenardo Da Vinci pernah menyatakan, “Siapa yang akan percaya dari sebuah lubang kecil, kita dapat melihat alam semesta“, Dusan Stojancevic, fotografer Serbia yang bereksperimen dengan fotografi mikro seakan menegaskan, “Betapa kecil dunia, betapa kecil kita—dalam tetesan air.”

Dusan menggunakan lensanya untuk memotret tetes-tetes air. Di dalam tetesan air itu gambar gedung ikonik seakan terperangkap dalam ruang kaca yang mungil. Seperti butiran kristal cemerlang yang senyap di tengah kehidupan dunia nyata yang ramai, riuh dan gaduh. New York City, kota paling besar, dengan Empire State Building, Gedung Flatiron dan Jembatan Brooklyn menjadi sebutir kristal yang mengambang di udara. Dunia benar-benar terasa kecil.

Dusan memberi nama Microcosmos untuk proyeknya. Ia ingin mengingatkan betapa indah sesungguhnya dunia di sekelililing kita. Setidaknya dunia kecil yang terperangkap dalam tetes-tetes air. Dengan melihat dunia yang teramat kecil itu kita jadi berpikir tentang hal-hal lain di luar yang lebih besar dari kita. Hal yang lebih besar, gerangan apakah itu?

Foto tetesan air yang memenjarakan dunia, yang berserakan di jalanan aspal, yang menggantung berbaris di atap gedung, yang melayang di udara seperti sedang menegaskan, selain dunia itu kecil, selalu kecil, selamanya akan terlihat kecil—juga meneguhkan kesadaran bahwa tetes-tetes air itu satu detik atau satu menit kemudian bisa lenyap. Dunia kecil yang terpenjara di sana pun turut lenyap. Citra dunia dalam setetes air itu begitu cepat sirna, hanya sekejap, dan bersifat sangat sementara.   

Kesementaraan itu oleh orang Jawa diungkapkan ing ndunyo mampir ngombe. Hidup di dunia seperti orang mampir minum. Sejenak saja, istirahat seperlunya, lalu melanjutkan perjalanan lagi. Sekadar mampir, bukan tinggal berlama-lama apalagi menetap selamanya. Kendati demikian, diam-diam manusia memendam hasrat tak usah ada mati agar bisa hidup abadi.

Wow, hidup abadi? Berbagai cara ditempuh. Kisah mencari kehidupan abadi mewarnai sejarah peradaban manusia. “Saya tidak mau mati. Tolong jangan biarkan saya mati!” ujar  pemimpin revolusioner sosialis Venezuela, Hugo Chavez. Kanker yang menggerogoti Chavez membawanya tiba di gerbang sakaratul maut. Chavez melawan maut—ia ingin hidup abadi.

Adalah Jose Ornella, Kepala Pasukan Khusus Pengamanan Presiden Venezuela menangkap bisikan Chavez menjelang kematian. Ornella memahami pesan pemimpinnya itu. Chavez menghendaki keabadian. Ide mengawetkan jasad Chavez mengemuka. Bukan hanya Ornella yang menghendakinya, rakyat Venezuela juga ingin menyaksikan jasad presiden mereka abadi, seperti Lenin, Stalin, Mao Zedong, Firaun. Sayangnya, para ahli pengawetan mayat angkat tangan. Jasad Chavez terlanjur “rusak”. Chavez batal dibalsem, urung mengarungi “hidup” dengan jasad yang abadi.

Walau dunia terlihat kecil dan mungil dalam setetes air, hasrat mengarungi hidup abadi adalah obsesi paling purba sepanjang sejarah manusia. Vladimir Ilyich Lenin adalah tokoh komunis pertama yang jasadnya dibadikan. Tidak kurang 10.000 telegram dari publik di Soviet menghendaki jasad Lenin diabadikan. Mereka ingin bisa menyaksikan jasad tersebut setiap saat hingga anak cucu nanti.

Hingga saat ini sedikitnya delapan belas mumi jasadnya abadi. Empat belas mumi diantaranya pemimpin negara. Sembilan mumi: Lenin, Stalin, Mao Zedong, Kim Jong-Il, Kim Il-sung, Ho Chi Minh, Georgi Dimitrov, Klement Gottwald, dan Khorloogiin Choibalsan adalah tokoh komunis.

Perjuangan hidup abadi di dunia yang terperangkap dalam setetes air dimulai dengan munculnya mitologi makhluk-makhluk langit yang kabarnya memiliki “obat mujarab” untuk memenuhi obsesi tersebut. Di Norwegia “obat mujarab” itu berupa apel emas. Mitologi Yunani menawarkan minuman para dewa yang bernama ambrosia. Tradisi Hindu menyebut tirta amerta.

Obsesi hidup abadi tidak berhenti pada mitologi dan imajinasi. Belakangan manusia makin meyakini hidup abadi bukan perkara yang mustahil dicapai. Penulis buku Sapiens: A Brief History of Humankind, Yuval Noah Hariri, dan dosen Jurusan Sejarah di Hebrew University of Jerusalem memelihara keyakinan tersebut. Hariri pernah menyampaikan kepada Daniel Kahneman, pemenang Nobel Ekonomi 2002, “Jika kelak otak manusia dan komputer bisa berinteraksi secara langsung, pada saat itu sejarah berakhir dan biologi yang kita pahami saat ini juga berakhir.”

Kita belum tahu apakah manusia memang membutuhkan hidup abadi atau cukup hidup dalam jatah usia yang normal. Merawat dunia yang kecil dalam tetesan air saja kita sudah kualahan, kalang kabut, saling serang, saling meniadakan. Proyek Microcosmos Dusan kembali menegaskan bahwa dunia yang kecil ini tidak selalu menyuguhkan konflik. Ada banyak keindahan di sekitar kita. Mari kita kabarkan bersama. []

Jagalan 261016   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun